Jenis-Jenis Riba
Mayoritas ulama
menyatakan bahwa riba bisa terjadi dalam dua hal, yaitu dalam utang (dain)
dan dalam transaksi jual-beli (bai’). Keduanya biasa disebut dengan
istilah riba utang (riba duyun)dan riba jual-beli (riba buyu’).
Mari kita tinjau satu persatu:
Riba Dalam Utang
Dikenal dengan
istilah riba duyun, yaitu manfaat tambahan terhadap utang. Riba ini
terjadi dalam transaksi utang-piutang (qardh) atau pun dalam transaksi
tak tunai selain qardh, semisal transaksi jual-beli kredit (bai’
muajjal). Perbedaan antara utang yang muncul karena qardh dengan
utang karena jual-beli adalah asal akadnya. Utang qardh muncul
karena semata-mata akad utang-piutang, yaitu meminjam harta orang lain untuk
dihabiskan lalu diganti pada waktu lain. Sedangkan utang dalam jual-beli muncul
karena harga yang belum diserahkan pada saat transaksi, baik sebagian atau
keseluruhan.
Contoh riba dalam
utang-piutang (riba qardh), misalnya, jika si A mengajukan utang sebesar
Rp. 20 juta kepada si B dengan tempo satu tahun. Sejak awal keduanya telah
menyepakati bahwa si A wajib mengembalikan utang ditambah bunga 15%, maka
tambahan 15% tersebut merupakan riba yang diharamkan.
Termasuk riba
duyun adalah, jika kedua belah pihak menyepakati ketentuan apabila
pihak yang berutang mengembalikan utangnya tepat waktu maka dia tidak dikenai
tambahan, namun jika dia tidak mampu mengembalikan utangnya tepat waktu maka
temponya diperpanjang dan dikenakan tambahan atau denda atas utangnya tersebut.
Contoh yang kedua inilah yang secara khusus disebut riba
jahiliyah karena banyak dipraktekkan pada zaman pra-Islam, meski
asalnya merupakan transaksi qardh (utang-piutan).
Sementara riba
utang yang muncul dalam selain qardh (pinjam) contohnya adalah
apabila si X membeli motor kepada Y secara tidak tunai dengan ketentuan harus
lunas dalam tiga tahun. Jika dalam tiga tahun tidak berhasil dilunasi maka
tempo akan diperpanjang dan si X dikenai denda berupa tambahan sebesar 5%,
misalnya.
Perlu diketahui
bahwa dalam konteks utang, riba atau tambahan diharamkan secara mutlak tanpa
melihat jenis barang yang diutang. Maka, riba jenis ini bisa terjadi pada
segala macam barang. Jika si A berutang dua liter bensin kepada si B, kemudian
disyaratkan adanya penambahan satu liter dalam pengembaliannya, maka tambahan
tersebut adalah riba yang diharamkan. Demikian pula jika si A berutang 10 kg
buah apel kepada si B, jika disyaratkan adanya tambahan pengembalian sebesar
1kg, maka tambahan tersebut merupakan riba yang diharamkan.
Imam al-Qurthubi
dalam tafsirnya menyatakan, “kaum muslimin telah bersepakat berdasarkan riwayat
yang mereka nukil dari Nabi mereka (saw) bahwa disyaratkannya tambahan dalam
utang-piutang adalah riba, meski hanya berupa segenggam makanan ternak”.
Bahkan, mayoritas
ulama menyatakan jika ada syarat bahwa orang yang berutang harus memberi hadiah
atau jasa tertentu kepada si pemberi utang, maka hadiah dan jasa tersebut
tergolong riba, sesuai kaidah, “setiap qardh yang menarik
manfaat maka ia adalah riba”. Sebagai contoh, apabila si B bersedia memberi
pinjaman uang kepada si A dengan syarat si A harus meminjamkan kendaraannya
kepada si B selama satu bulan, maka manfaat yang dinikmati si B itu merupakan
riba.
Riba Dalam
Jual-beli
Dalam jual-beli,
terdapat dua jenis riba, yakni riba fadhl dan riba
nasi’ah. Keduanya akan kita kenal lewat contoh-contoh yang nanti akan kita
tampilkan.
Berbeda dengan riba
dalam utang (dain) yang bisa terjadi dalam segala macam barang,
riba dalam jual-beli tidak terjadi kecuali dalam transaksi enam barang tertentu
yang disebutkan oleh Rasulullah saw. Rasulullah saw bersabda:
“Jika emas ditukar
dengan emas, perak ditukar dengan perak, bur (gandum) ditukar dengan bur,
sya’ir (jewawut, salah satu jenis gandum) ditukar dengan sya’ir, kurma dutukar
dengan kurma, dan garam ditukar dengan garam, maka jumlah (takaran atau
timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau
meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan
tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim no.
1584)
Dalam riwayat lain
dikatakan:
“Emas ditukar
dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut,
kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus semisal dengan semisal, sama
dengan sama (sama beratnya/takarannya), dan dari tangan ke tangan (kontan).
Maka jika berbeda jenis-jenisnya, juallah sesuka kamu asalkan dari tangan ke
tangan (kontan).” (HR Muslim no 1210; At-Tirmidzi III/532; Abu Dawud
III/248).
Ada beberapa poin
yang bisa kita ambil dari hadits di atas:
Pertama, Rasulullah saw
dalam kedua hadits di atas secara khusus hanya menyebutkan enam komoditi saja,
yaitu: emas, perak, gandum, jewawut, kurma dan garam. Maka ketentuan/larangan
dalam hadits tersebut hanya berlaku pada keenam komoditi ini saja tanpa bisa
diqiyaskan/dianalogkan kepada komoditi yang lain. Selanjutnya, keenam komoditi
ini kita sebut sebagai barang-barang ribawi.
Kedua, Setiap pertukaran
sejenis dari keenam barang ribawi, seperti emas ditukar dengan emas atau garam ditukar dengan garam,
maka terdapat dua ketentuan yang harus dipenuhi, yaitu: pertama takaran
atau timbangan keduanya harus sama; dan kedua keduanya harus
diserahkan saat transaksi secara tunai/kontan.
Berdasarkan
ketentuan di atas, kita tidak boleh menukar kalung emas seberat 10 gram dengan
gelang emas seberat 5 gram, meski nilai seni dari gelang tersebut dua kali
lipat lebih tinggi dari nilai kalungnya. Kita juga tidak boleh menukar 10 kg
kurma kualitas jelek dengan 5 kg kurma kualitas bagus, karena pertukaran kurma
dengan kurma harus setakar atau setimbang. Jika tidak setimbang atau setakaran,
maka terjadi riba, yang disebut riba fadhl.
Disamping harus
sama, pertukaran sejenis dari barang-barang ribawi harus dilaksanakan dengan
tunai/kontan. Jika salah satu pihak tidak menyerahkan barang secara tunai,
meskipun timbangan dan takarannya sama, maka hukumnya haram, dan praktek ini
tergolong riba nasi’ah atau ada sebagian ulama yang secara
khusus menamai penundaan penyerahan barang ribawi ini dengan sebutan riba
yad.
Ketiga, Pertukaran tak
sejenis di antara keenam barang ribawi tersebut hukumnya boleh
dilakukan dengan berat atau ukuran yang berbeda, asalkan tunai. Artinya, kita
boleh menukar 5 gram emas dengan 20 gram perak atau dengan 30 gram perak sesuai
kerelaan keduabelah pihak. Kita juga boleh menukar 10 kg kurma dengan 20 kg
gandum atau dengan 25 kg gandum, sesuai kerelaan masing-masing. Itu semua boleh
asalkan tunai alias kedua belah pihak menyerahkan barang pada saat transaksi.
Jika salah satu pihak menunda penyerahan barangnya, maka transaksi itu tidak
boleh dilakukan. Para ulama menggolongkan praktek penundaan penyerahan barang ribawi ini kedalam
jenis riba nasi’ah tapi ada pula ulama yang memasukkannya
dalam kategori sendiri dengan nama riba yad.
Keempat, Jika barang ribawi ditukar
dengan selain barang
ribawi, seperti perak ditukar dengan ke kayu, maka dalam hal ini tidak
disyaratkan harus setimbang dan tidak disyaratkan pula harus kontan karena kayu
bukan termasuk barang
ribawi.
Kelima, Selain keenam barang-barang ribawi di atas, maka
kita boleh menukarkannya satu sama lain meski dengan ukuran/kuantitas yang
tidak sama, dan kita juga boleh menukar-nukarkannya secara tidak tunai. Sebagai
contoh, kita boleh menukar 10 buah kelapa dengan 3 kg kedelai secara tidak kontan
karena kelapa dan kedelai bukan barang ribawi.
Memahami Riba Fadhl
dan Riba Nasi’ah
Fadhl secara bahasa
berarti tambahan atau kelebihan. Sedangkan nasii’ah secara
bahasa maknanya adalah penundaan atau penangguhan.
Nah, sekarang mari
kita mencoba untuk memahami apa yang dimaksudkan oleh para ulama dengan
istilah riba fadhl dan riba nasi’ah, meskipun
sebenarnya, setelah kita memahami fakta tentang jenis-jenis riba, bukan suatu
hal yang wajib untuk mengenal nama-namanya. Hanya saja, karena istilah
riba fadhl dan nasi’ah ini sangat sering kita
baca atau kita dengar, maka kita akan menemukan kesulitan untuk memahami
tulisan atau pembicaraan yang mengandung kedua istilah tersebut.
Silahkan cermati
kembali poin dua dan poin tiga pada penjelasan hadits yang baru saja kita
lewati, setelah itu insyaallah kita bisa memahami apa yang
disebut dengan riba fadhl dan riba nasi’ah. Riba
fadhl adalah tambahan kuantitas yang terjadi pada pertukaran
antar barang-barang
ribawi yang sejenis, seperti emas 5 gram ditukar dengan emas 5,5 gram.
Sedangkan riba nasi’ah adalah riba yang terjadi karena
penundaan, sebab, nasi’ah sendiri maknanya adalah penundaan atau penangguhan.
Semua riba utang (riba
duyun) yang telah kita bahas sebelumnya tergolong riba nasi’ah,
karena semuanya muncul akibat tempo. Dalam konteks utang, riba nasi’ah berupa
tambahan sebagai kompensasi atas tambahan tempo yang diberikan. contohnya utang
dengan tempo satu tahun tidak berhasil dilunasi sehingga dikenakan tambahan
utang sebesar 15%, misalnya. Maka, tambahan 15% ini merupakan riba
nasi’ah. Juga dalam riba qardh dimana keberadaan tambahan
telah disepakati sejak awal, semisal ada ketentuan untuk mengembalikan utang
sebesar 115%. Ini juga termasuk riba nasi’ah (meski sebagian
ulama ada yang memasukkannya dalam ketegori riba fadhl ditinjau
dari segi bahwa ia merupakan pertukaran barang sejenis dengan penambahan).
Sementara itu,
dalam konteks jual-beli barang ribawi, riba nasi’ah tidak
berupa tambahan, melainkan semata dalam bentuk penundaan penyerahan barang
ribawi yang sebenarnya disyaratkan harus tunai itu, baik keduanya sejenis
maupun berbeda jenis. Contohnya seperti membeli emas menggunakan perak secara
tempo, atau membeli perak dengan perak secara tempo. Praktek tersebut tidak
boleh dilakukan karena emas dan perak merupakan barang ribawi yang jika ditukar
dengan sesama barang ribawi disyaratkan harus kontan. Itulah mengapa,
pertukaran barang ribawi secara tidak tunai digolongkan kedalam riba nasi’ah.
Sebagian ulama menyebut penyerahan tertunda dalam pertukaran sesama barang
ribawi ini dengan istilah khusus, yakni riba yad.
Kesimpulan
Riba bisa terdapat
dalam utang dan transaksi jual-beli.
Riba dalam utang
adalah tambahan atas utang, baik yang disepakati sejak awal ataupun yang
ditambahkan sebagai denda atas pelunasan yang tertunda. Riba utang ini bisa
terjadi dalam qardh (pinjam/utang-piutang) ataupun selain
qardh, seperti jual-beli kredit. Semua bentuk riba dalam utang tergolong riba
nasi’ah karena muncul akibat tempo (penundaan).
Riba dalam jual beli
terjadi karena pertukaran tidak seimbang di antara barang ribawi yang sejenis
(seperti emas 5 gram ditukar dengan emas 5,5 gram). Jenis ini yang disebut
sebagai riba fadhl.
Riba dalam
jual-beli juga terjadi karena pertukaran antar barang ribawi yang tidak kontan,
seperti emas ditukar dengan perak secara kredit. Praktek ini digolongkan ke
dalam riba nasi’ah atau secara khusus disebut dengan
istilah riba yad.
Wallahu a’lam
Sumber :
http://www.titokpriastomo.com/fiqih/pengertian-riba-jenis-jenis-riba-contoh-contoh-riba.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar