Minggu, 31 Oktober 2010

PINJAMAN (ARIYAH)

Pengertian
Pinjaman atau ‘ariyah menurut bahasa ialah pinjaman. Sedangkan menurut istilah, ‘ariyah ada beberapa pendapat:
1. menurut Hanafiyah, ariyah ialah:
“memiliki manfaat secara Cuma-Cuma”
2. menurut malikiyah, ariyah ialah:
“Memiliki manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa imbalan.
3. Menurut syafiiyah, ariyah adalah:
“Kebolehan mengambil manfaat dari sesorang yang membebaskannya,apa yang mungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.”
4. menurut Hanbaliyah, Ariyah ialah:
“kebolehan memanfaatkan suatu zat barang tanpa imbalan dari peminjam atau yang lainnya.”
5. Ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat barang-barang yang diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain dengan tanpa di ganti
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ariyah ialah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara Cuma-Cuma (gratis). Bila diganti dengan sesuatu atau ada imbalannya, hal itu tidak dapat disebut ariyah.

B. Dasar Hukum ‘Ariyah
Menurut Sayyid Sabiq, tolong menolong (‘Ariyah) adalah sunnah. Sedangkan menurut al-Ruyani, sebagaimana dikutif oleh Taqiy al-Din, bahwa ariyah hukumnya wajib ketika awal islam. Adapun landasan hukumnya dari nash Alquran ialah:
“dan tolong-menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong-menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan.”
(Al-Maidah:2)
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu agar menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa:58)
Selain dari Al-Quran, landasan hukum yang kedua adalah Al-Hadis, ialah:
“barang peminjaman adalah benda yang wajib dikembalikan”
(Riwayat Abu Daud)
“orang kaya yang memperlambat (melalaikan) kewajiban membayar utang adalah zalim (berbuat aniaya)”
(Riwayat Bukhari dan Muslim)

C. Rukun dan Syarat ‘Ariyah
Menurut Hanafiyah, rukun ‘ariyah satu, yaitu ijiab dan Kabul, tidak wajib diucapkan tetapi cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam dan boleh hukum ijiab Kabul dengan ucapan.
Menurut Syafiiyah, rukun ariyah adalah sebagai berikut:
1. Kalimat mengutangkan (lafazh), seperti seseorang berkata, “saya utangkan benda ini kepada kamu” dan yang menerima berkata “ saya mengaku berutang benda anu kepada kamu.” Syarat bendanya adalah sama dengan syarat benda-benda dalam jual beli.

2. Mu’ir yaitu orang yang mengutangkan (berpiutang) dan Mus’tair yaitu orang yang menerima utang. Syarat bagi mu’ir adalah pemilik yang berhak menyerahkannya, sedangkan syarat-syarat bagi mus’tair adalah:
 baligh
 berakal
 orang tersebut tidak dimahjur(dibawah curatelle) atau orang yang berada dibawah perlindungan, seperti pemboros.

3. Benda yang diutangkan, pada rukun ketiga ini disyaratkan dua hal, yaitu:
 Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan, maka tidak syah ariyah yang matwrinya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung yang sudah hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimpan padi.
 Pemanfaatan itu dibolehkan, maka batal ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara, seperti meminjam benda-benda najis.

D. Pembayaran Pinjaman
Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjam memiliki utang kepada yang berpiutang (mu’ir). Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk aniaya. Perbuatan aniaya merupakan salah satu perbuatan dosa. Rasulallah Saw, bersabda:
“ Orang kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah aniaya”
(Riwayat Bukhari dan Muaslim).
Melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan, asal saja kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berutang semata. Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang membayar utang.
Rasulallah Saw. Bersabda:
“sesungguhnya diantara orang yang terbaik dari kamu adalah orang yang sebaik-baiknya dalam membayar utang”
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
Rasulallah pernah berutang hewan, kemudian beliau membayar hewan itu dengan yang lebih besar dan tua umurnya dari hewan yang beliau pinjam. Kemudian Rasu bersabda:
“ Orang yang paling baik diantara kamu ialah orang yang dapat membayar utangnya dengan yang lebih baik”
(Riwayat Ahmad)
Jika penambahan itu dikehendaki oleh orang yang berutang atau telah menjadi perjajian dalam akad berpiutang, maka tambahan itu tidak halal bagi yang berpiutang untuk mengambilnya. Rasul bersabda:
“ Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka itu adalah salah satu cara dari sekian cara riba”
( Dikeluarkan oleh Baihaqi).
E. Meminjam Pinjaman dan Menyewakan
Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa pinjaman boleh meminjamkan benda-benda pinjaman kepada orang lain. Sekalipun pemiliknya belum mengizinkan jika penggunanya untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman. Menurut Mazhab Hanbali, peminjam boleh memanfaatkan barang pinjaman atau siapa saja yang menggantikan setatusnya selama peminjaman berlangsung, kecuali jika barang tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut Hanbaliyah menyewakan barang pinjaman tanpa seizing pemilik barang.
Jika peminjam suatu benda meminjamkan benda pinjaman tersebut kepada orang lain, kemudian rusak ditangan kedua, maka pemilik berhak meminta jaminan kepada salah seorang diantara keduanya. Dalam keadaan seperti ini, lebih baik barang meminta jaminan kepada pihak kedua karena dialah yang memegang ketika barang itu rusak.

F. Tanggung Jawab Peminjam
Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya, baik arena pemakaian yang berlebihan maupun karena yang lainnya. Demonian menurut Idn Abbas, Aisyah, Abu Hurairah, Syai’I dan Ishaq dalam hadis yang diriwayatkan oleh Samurah, Rasulallah Saw. Bersabda:
“Pemegang kewajiban menjaga apa yang ia terima, hingga ia mengambilkannya”.
Sementara para pengikut hanafiyah dan Malik berpendapat bahwa, pemin jam tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya, kecuali karena tindakan yang berlebihan, karena Rasulallah Saw. Bersabda:
“Pinjaman yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan”
(Dikeluarkan ai-Daruquthin)



G. Tatakrama Berutang
Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau utang-piutang tentang nilai-nilia sopan-santun yang terkait di dalamnya, ialah sebagai berikut:
a. Sesuai dengan QS. Al-Bazaar: 282, utang-piutang supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak berutang dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki dengan dua orang saksi wanita. Untuk dewasa ini tulisan tresebut dibuat diatas kertas bersegel atau bermaterai.
b. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai niat dalam hati akan membayarnya/mengembalikannya.
c. Pihak berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak berutang. Bila yang meminjam tidak mampu mengembelikan, maka yang berpiutang hedaknya membalaskannya.
d. Pihak yang berutang bila sudah mampu membayar pinjaman, hendaknya dipercepat pembayaran utangnya karena lalai dalam pembayaran pinjaman berari berbuat zalim.

Jaminan

Isitilah jaminan merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda yaitu "zekerheid" atau "cautie", yang secara umum merupakan cara-cara kreditur menjamin dipenuhinya tagihannya, disamping pertanggungan jawab umum debitur terhadap barang-barangnya.

Dalam peraturan perundang-undangan, kata-kata jaminan terdapat dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata, dan dalam Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (UU yang Diubah)

Selain istilah jaminan, dikenal juga istilah atau kata-kata agunan. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, tidak membedakan pengertian jaminan maupun agunan, yang sama-sama memilki arti yaitu "tanggungan". Namun dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 dan UU No. 10 Tahun 1998, membedakan pengertian dua istilah tersebut. Dimana dalam UU No. 14 Tahun 1967 lebih cenderung menggunakan istilah "jaminan" dari pada agunan.

Pada dasarnya, pemakaian istilah jaminan dan agunan adalah sama. Namun, dalam praktek perbankan istilah di bedakan. Istilah jaminan mengandung arti sebagai kepercayaan/keyakinan dari bank atas kemampuan atau kesanggupan debitur untuk melaksanakan kewajibannya. Sedangkan agunan diartikan sebagai barang/benda yang dijadikan jaminan untuk melunasi utang nasabah debitur.

Pengertian jaminan terdapat dalam SK Direksi Bank Indonesia No. 23/69/KEP/DIR tanggal 28 februari 1991, yaitu: "suatu keyakinan kreditur.bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan".
Sedangkan pengertian agunan diatur dalam Pasal 1 angka 23 UU No. 10 Tahun 1998, yaitu: "jaminan pokok yang diserahkan debitur dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syari'ah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia".

Dalam Penjelasan Pasal 8 UU yang Diubah, terdapat 2 (dua) jenis agunan, yaitu: agunan pokok dan agunan tambahan. Agunan pokok adalah barang, surat berharga atau garansi yang berkaitan langsung dengan objek yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan, seperti barang-barang atau proyek-proyek yang dibeli dengan kredit yang dijaminkan. Sedangkan agunan tambahan adalah barang, surat berharga atau garansi yang tidak berkaitan langsung dengan objek yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan, yang ditambah dengan agunan.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dari jaminan (menurut Pasal 1 angka 23 UU No. 10 Tahun 1998), yaitu:
1. merupakan jaminan tambahan.
2. diserahkan oleh nasabah debitur kepada bank/kreditur.
3. untuk mendapatkan fasilitas kredit/pembiayaan berdasarkan Prinsip Syari'ah.

Kegunaan dari jaminan, yaitu:
1. memberikan hak dan kekuasaan kepada bank/kreditur untuk mendapatkan pelunasan agunan, apabila debitur melakukan cidera janji.
2. menjamin agar debitur berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usahanya/proyeknya, dengan merugikan diri sendiri, dapat dicegah.
3. memberikan dorongan kepada debitur untuk memenuhi janjinya, misalnya dalam pembayaran angsuran pokok kredit tiap bulannya.

Syarat-syarat benda jaminan:
1. secara mudah dapat membantu diperolehnya kredit itu, oleh pihak yang memerlukannya.
2. tidak melemahkan potensi/kekuatan si pencari kredit untuk melakukan dan meneruskan usahanya.
3. memberikan informasi kepada debitur, bahwa barang jaminan setiap waktu dapat di eksekusi, bahkan diuangkan untuk melunasi utang si penerima (nasabah debitur).

Manfaat benda jaminan bagi kreditur:
1. terwujudnya keamanan yang terdapat dalam transaksi dagang yang ditutup.
2. memberikan kepastian hukum bagi kreditur.

Sedangkan manfaat benda jaminan bagi debitur, adalah: untuk memperoleh fasilitas kredit dan tidak khawatir dalam mengembangkan usahanya.

Penggolongan Jaminan berdasarkan Sifatnya, yaitu:
1. Jaminan yang bersifat Umum.
merupakan jaminan yang diberikan bagi kepentingan semua kreditur dan menyangkut semua harta benda milik debitur, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata, yaitu" segala harta/hak kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di masa mendatang, menjadi tanggungan untuk semua perikatan perorangan".
2. Jaminan yang bersifat Khusus.
merupakan jaminan yang diberikan dengan penunjukan atau penyerahan atas suatu benda/barang tertentu secara khusus, sebagai jaminan untuk melunasi utang/kewajiban debitur, baik secara kebendaan maupun perorangan, yang hanya berlaku bagi kreditur tertentu saja.
3. Jaminan yang bersifat Kebendaan dan Perorangan.
jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda tersebut. Penggolongan jaminan berdasarkan/bersifat kebendaan dilembagakan dalam bentuk: hipotik (Pasal 1162 KUHPerdata), Hak Tanggungan, gadai (pand), dan fidusia.
sedangkan jaminan yang bersifat perorangan, dapat berupa borgtogh (personal guarantee) yang pemberi jaminannya adalah pihak ketiga secara perorangan, dan jaminan perusahaan, yang pemberi jaminannya adalah suatu badan usaha yang berbadan hukum.

Penggolongan jaminan berdasarkan Objek/Bendanya:
1. Jaminan dalam bentuk Benda Bergerak.
dikatakan benda bergerak, karena sifatnya yang bergerak dan dapat di pindahkan atau dalam UU dinyatakan sebagai benda bergerak, misalnya pengikatan hak terhadap benda bergerak. Jaminan dalam bentuk benda bergerak dibedakan atas benda bergerak yang berwujud, pengikatanya dengan gadai (pand), dan fidusia, dan benda bergerak yang tidak berwujud, yang pengikatannya dengan gadai (pand), cessie dan account revecieble.
2. Jaminan dalam bentuk Benda Tidak Bergerak.
merupakan jaminan yang berdasarkan sifatnya tidak bergerak dan tidak dapat di pindah-pindahkan, sebagaimana yang diatur dalam KUHPerdata. Pengikatan terhadap jaminan dalam bentuk benda bergerak berupa hak tanggungan (hipotik).

Penggolongan jaminan berdasarkan Terjadinya:
1. Jaminan yang lahir karena Undang-undang.
merupakan jaminan yang ditunjuk keberadaannya oleh undang-undang, tanpa adanya perjanjian dari para pihak, sebagaimana yangdiatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata, seperti jaminan umum, hak privelege dan hak retensi.
2. Jaminan yang lahir karena Perjanjian.
merupakan jaminan yang terjadi karena adanya perjanjian antara para pihak sebelumnya, seperti gadai (pand), fidusia, hipotik, dan hak tanggungan.

QIRADH DAN HIWALAH

QIRADH
1. Pengertian Qiradh
            Dalam pengertian asal kata Qiradh sama dengan al-Qith'u  yang berarti cabang atau potongan
            Sedangkan menurut syara'
Yang dimaksud dengan Qiradh adalah harta yang diberikan seorang pemberi Qiradh kepada orang yang diQiradhkan untuk kemudian dia memberikannya setelah mampu.[1]
Penyerahan harta kepada orang yang akan mengambil manfaatnya, untuk kemudian dikembalikan lagi. Sebagai contoh, seseorang yang membutuhkan mengatakan kepada orang yang memang sah untuk melakukan kebaikan (memberi pinjaman): "pinjamilah aku atau berilah aku pinjaman harta sejumlah demikian, atau barang atau binatang untuk jangka waktu tertentu. Aku akan mengembalikannya kepadamu.[2]
Penulis berpendapat bahwa Qiradh adalah bentuk pinjaman yang diberikan oleh orang yang mampu kepada orang yang akan mengambil manfa'atnya dalam rangka meringankan beban orang tersebut untuk kemudian akan dikembalikan oleh sipeminjam setelah ia mempunyai kesanggupan untuk membayar

2. Dasar Hukum Qiradh
            Pihak yang meminjami mempunyai pahala Sunat, sedangkan dilihat dari pihak yang peminjam maka hukumnya, boleh.

a.Firman Allah SWT:
ƨB #sŒ Ï%©!$# ÞÚ̍ø)ム©!$# $·Êös% $YZ|¡ym ¼çmxÿÏ軟Òãsù ¼çms9 ÿ¼ã&s!ur ֍ô_r& ÒOƒÌx. ÇÊÊÈ  
Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan Dia akan memperoleh pahala yang banyak. (AL-Hadid:11)
b. Nabi saw. Bersabda:
ومن نفس عن اخيه كربة من كرب الدنيانفس الله عنه كربة من كرب يوم القيمة
       Barang siapa yang memudahkan kesulitan dunia saudaranya, maka Allah akan memudahkan kesulitan yang dihadapinya pada hari kiamat. (HR. Muslim)[3].

c. dari Ibnu Mas'ud, bahwa nabi saw bersabda:
مامن مسلم يقرض مسلما قرضامرتين الا كا ن كصدقة مرة
Tidak seorang muslim yang mengQiradhkan hartanya kepada orang muslim sebanyak dua kali, kecuali perbuatannya seperti sedekah satu kali. (HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)

d. Dari Anas, bahwa nabi saw bersabda:
رايت ليلة اسري بي عل باب الخنة مكتوبا:الصدقة بعشرامثا لهاوالقؤض بثمانية عشر.فقلت:ياخبريل,ما بال القؤض افضل من الصدقة؟قال:لأ ن السائل يسأل وعنده., والمستقرض لايستقرض إلامن حخة
"Pada malam diisra'kan aku melihat tulisan di pintu surga, tertulis: 'sedekah mendapat balasan sepuluh kali lipat dan Qiradh mendapat balasan delapan balasan kali lipat'. Aku katakan: ' mengapa Qiradh itu dapat lebih afdhal daripada sedekah'? Jibril menjawab: 'karena (biasanya) orang yang meminta waktu ia (sedekah) ia sendiri punya, sedangkan orang yang minta diQiradhkan ia tidak akan minta diQiradhkan kecuali ia butuh.[4]

3. Syarat-Syarat Qiradh
Syarat-syarat terlaksananya Qiradh, yaitu:
  1. Kadar pinjaman itu harus diketahui dengan timbangan atau bilangan
  2. Jika barang pinjaman itu berupa binatang, maka harus diketahui sifat dan umurnya
  3. Pinjaman itu hendaknya dari orang yang memang sah memberikan pinjaman

4. Cara Pelaksanaan Qiradh
Dalam pinjaman, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan,[5] yaitu:
  1. Pinjaman harus dimilikki melalui penerimaan (Ijab Qabul), sehingga ketika pihak peminjam menerima pinjamannya, maka ia menjadi penanggung jawab
  2. Pinjaman boleh ditentukan batas waktunya dan pihak yang meminjami tidak berhak menagih sebelum habis masa perjanjian

$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4 =çGõ3uø9ur öNä3uZ÷­/ 7=Ï?$Ÿ2 ÉAôyèø9$$Î/
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. (al-Baqarah:282)
المسلمون عند شروطهم
"Orang-orang islam itu berada pada syrat-syarat mereka".(HR. Abu Daud, Ahmad, at Tirmizidan Ad Daruquthni)
  1.  Jika barang pinjaman itu masih tetap seperti sewaktu dipinjamkan maka harus dikembalikan dalam keadaan itu. Sedangkan jika berubah pengembaliannya dengan barang yang serupa, kalau tidak ada cukup seharga barang yang dipinjam
HR Ahmad dan Muslim serta Ashhabus sunan dar Rafi', berkata: "rasulullah saw pernah meminjam unta muda kepada seseorang. Kemudian datanglah unta zakat. Kemudian beliau memrintahkanku agar membayar piutang orang tersebut yang diambil dari unta sedekah itu. Lalu katakanlah: aku tidak mendapatkan unta mudah didalamnya kecuali unta pilihan yang sudah berumur enam tahun masuk ketujuh'." Lalu nabi saw bersabda:
اعطه إياه فان خيركم احسنكم قضاء
            Berikanlah kepadanya sesunggunya orang yang paling baik diantaramu adalah orang yang palingbaik membayar hutang.[6]
  1. Bila pengangkutan uang (barang) untuk pembayaran uang itu tidak terjamin keamanannya., maka pombayaran boleh dilaksanakkan diluar ketentuan semula, sesuai dengan kehendak yang meminjamkan.
  2. Pihak yang meminjamkan diharamkan mengambil riba dalam pinjaman tersebut.

B. HIWALAH
1. Pengertian Hiwalah
            Secara etimologi Hiwalah bearti pengalihan, pemindahan, perubhan warna kulit, memikul sesuatu diatas pundak.
secara terminologi hiwalah adalah: Memindahkan hutang dari tanggungan Muhil menjadi tanggungan Muhal alaih( orang yang berhutang lainnya)[7]
sedangkan jumhur ulama mendefinisikan dengan:
Akad yang menghendaki pengalihan utang dari tanggung jawab seseorang kepada tanggungjawab orang yang lainnya[8].
Contoh. Apabila ada hutang pada seseorang, sedangkan orang tersebut mempunyai harta pada orang lain. Lalu ketika orang yang meminjamkan pinjaman menagih, sipeminjam mengatakan" aku  persilahkan tuan mengambil pada siAnu, karena dia mempunya hutang kepada saya sebanyak hutang saya kepada tuan" jika orang yang meeminjamkan rela dengan hal itu maka sipeminjam bebas dari tanggung jawab.
Muhil (sebagai yang berhutang)         
Muhal (orang yang menghutangkan)
Muhal alaih (orang yang melakukan pembayara hutang)


2. Landasan Hukum
            Islam membenarkan Hiwalah dan membolehkannya, karena ai diperlukan.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa rasulullah saw bersabda:
مطل الجغني ظلم.وإذااتبع احدكم على مليءفليتبع
"menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah kezaliman. Dan jika salah seseorang kamu dikutkan (dihiwalahkan) kepada orang yang kaya yang mampu, maka turutlah"[9]
Mazhab Hanafi membagi Hiwalah kepada beberapa bagian[10], yaitu:
  1. Al-Hiwalah al-Muqayyadah (pemindahan bersyarat) yaitu pemindahan sebagai ganti dari pembayaran utang dari pihak pertama kepada pihak kedua.
Contoh: Syarif berpiutang kepada basuki sebesar satu juta rupiah, sedangkan basuki juga berpiutang pada rahman satu juta rupiah. Basuki kemudian memindahkan haknya untuk untuk menagih piutangnya yang terdapat pada rahman, kepada Syarif.
  1.  Al-Hiwalah al-Muthlaqah (pemindahan mutlak) yaitu pemindahan yang tidak ditegaskan sebagai ganti pembayaran utang pihak pertama kepada pihak keua.
Contoh: Ahmad berutang kepada Burhan sebesar satu juta rupiah. Karena Karna juga berhutang kepada Ahmad sebesar satu rupiah. Ahmad mengalihkan utangnya kepada Karna shingga Karna berkewajiban membayar utang Ahmad kepada Burhan, tanpa menyebutkan bahwa pemindahan utang itu sebagai ganti utang Karna kepada Ahmad

3. Syarat-Syarat Hiwalah
Syarat-syarat yang diperlukan pihak pertama, yaitu:
  1. Cakap melakukan tindakan hukm dalam bentuk akad, yaitu balig dan berakal
  2. Ada pernyataan persetujuan. Jika pihak pertama dipaksa melakukan hiwalah mak hiwalah tidak sah
Syarat-syarat yang diperlukan pihak kedua, yaitu:
  1. Cakap melakukan tindakan hukm dalam bentuk akad, yaitu balig dan berakal sebagaiman pihak pertama
  2. Mazhab Hanafi, sebagian besar Mazhab Malik dan Mazhab Syafi'I mensyaratkan ada persetujuan pihak kedua terhadap pihak yang pertama dalam melakukan hiwalah.
Syarat-syarat yang diperlukan pihak ketiga, yaitu:
  1. Cakap melakukan tindakan hukm dalam bentuk akad, yaitu balig dan berakal sebagaiman pihak pertama
  2. Ulama hanafi mensyaratkan adanya persetujuan dari pihak ketiga. Sedangkan ketiga Mazhab yang lainnya tidak mensyaratkan hal yang itu
Syarat-syarat utang yang dialihkan
  1. Sama kedua halnya baik jenis maupun kadarnya, penyelesaian tempo waktu, mutu baik dan buruknya
  2. Utang yang berada ditangan peminjam adalah utang yang sudah jelas menjadi tanggung jawab pihak pemberi pinjaman yang hendak memindahkah pinjaman kepadanya.

4. Cara Pelaksanaan Hiwalah
Dalam cara pelaksanaan Hiwalah yang perlu kita perhatikan, antara lain:
a.         Pihak yang membayar utang hendaknya orang yang betul-betul mampu memenuhinya.
b.        Bila dipersilahkan menagih kepada seseorang, namun ternyata orang tersebut jatuh melarat, mati atau pergi jauh maka haknya dikembalikan lagi kepada orang yang memerintahkan untuk menagihnya itu
c.         Jika seseorang menyuruh menagih kepada orang lain, namun orang lain itu menyuruh pula menagih kepada orang lain lagi, maka hiwalah tersebut boleh dilakukan, selama persyaratan dapat dipenuhi dan tidak merugikan pihak yang menagih.

Akibat hukum Hiwalah
            Jka akad Hiwalah terjadi, maka akibat hukum dari akad adalah sebagai berikut[11]:
  1. Jumhur ulama berpendapat bahwa kewajiban pihak pertama untuk membayae hutang kepada pihak kedua menjadi terlepas.
  2. Akad Hiwalah menyebabkan lahirnya hak bagi pihak kedua untuk menuntut pembayaran hutang kepada pihak ketiga

Berakhirnya akad hiwalah
Para ulama fiqih mengemukakan bahwa akad Hiwalah akan berakhir apabila[12]:
  1. Salah satu pihak yang sedang melakukan akad membatalkan akad
  2. Pihak ketiga melunasi utang kepada pihak kedua
  3. Pihak kedua wafat, sedangkan pihak ketiga merupakan Ahli waris harta pihak kedua.
  4. Pihak kedua mnghibahkan, harta yang merupakan akad Hiwalah kepada pihak ketiga.
  5. Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajiban untuk membayar utang dari yang dialihkan














Mukhabarah

Muzara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan. Munculnya pengertian muzara’ah dan mukhabarah dengan ta’rif yang berbeda tersebut karena adanya ulama yang membedakan antara arti muzara’ah dan mukhabarah, yaitu Imam Rafi’I berdasar dhahir nash Imam Syafi’i. Sedangkan ulama yang menyamakan ta’rif muzara’ah dan mukhabarah diantaranya Nawawi, Qadhi Abu Thayyib, Imam Jauhari, Al Bandaniji. Mengartikan sama dengan memberi ketetntuan: usaha mengerjakan tanah (orang lain) yang hasilnya dibagi. B. Dasar Hukum Muzara’ah Dan Mukhabaroh عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيْجِ قَالَ كُنَّااَكْثَرَاْلاَنْصَارِ حَقْلاً فَكُنَّا نُكْرِىاْلاَرْضَ عَلَى اَنَّ لَنَا هَذِهِ فَرُبَمَا أَخْرَجَتْ هَذِهِ وَلَمْ تُخْرِجْ هَذِهِ فَنَهَانَاعَنْ ذَلِكَ Artinya : Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan dengan cara demikian (H.R. Bukhari) عَنْ اِبْنِ عُمَرَاَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَرْطِ مَايَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ اَوْزَرْعٍ (رواه مسلم) Artinya: Dari Ibnu Umar: “Sesungguhna Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim) C. Pandangan Ulama Terhadap Hukum Muzara’ah Dan Mukhabarah Dua Hadits di atas yang dijadikan pijakan ulama untuk menuaikan kebolehan dan katidakbolehan melakukan muzara’ah dan mukhabarah. Setengah ulama melarang paroan tanah ataupun ladang beralasan pada Hadits yang diriwayatkan oleh bukhari tersebut di atas Ulama yang lain berpendapat tidak ada larangan untuk melakukan muzara’ah ataupun mukhabarah. Pendapat ini dikuatkan oleh Nawawi, Ibnu Mundzir, dan Khatabbi, mereka mengambil alsan Hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas Adapun Hadits yang melarang tadi maksudnya hanya apabila ditentukan penghasilan dari sebagian tanah, mesti kepunyaan salah seorang diantara mereka. Karena memang kejadian di masa dahulu, mereka memarohkan tanah dengan syarat dia akan mengambil penghasilan dari sebagian tanah yang lebih subur keadaan inilah yang dilarang oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam Hadits yang melarang itu, karena pekerjaan demikian bukanlah dengan cara adil dan insaf. Juga pendapat ini dikuatkan orang banyak. D. Zakat Muzara’ah Dan Mukhabarah Zakat hasil paroan sawah atau ladang ini diwajibkan atas orang yang punya benih, jadi pada muzara’ah, zakatnya wajib atas petani yang bekerja, karena pada hakekatnya dialah yang bertanam, yang punya tanah seolah – olah mengambil sewa tanahnya, sedangkan penghasilan sewaan tidak wajib dikeluarkan zakatnya Sedangkan pada mukhabarah, zakat diwajibkan atas yang punya tanah karena pada hakekatnya dialah yang bertanam, petani hanya mengambil upah bekerja. Penghasilan yang didapat dari upah tidak wajib dibayar zakatnya. Kalau benih dari keduanya, maka zakat wajib atas keduanya, diambil dari jumlah pendapatan sebelum dibagi E. Syarat – Syarat Muzara’ah Menurut jumhur ulama’ adalah: 1. harus baligh dan berakal 2. Jelas dan menghasilkan 3. menurut adat dan batas lahan itu jelas 4. pembagian hasil harus jelas dan memang benar – benar milik bersama. F. Musaaqah Merupakan transaksi antara pemilik kebun /tanaman dan pengolah/penggarap untuk memelihara dan merawat kebun pada masa tertentu sampai pada masa tertentu sampai tanaman itu berbuah. Rukun dan syarat musaaqah 1. ada dua orang yang beraqad 2. ada lahan yang dijadikan objek 3. bentuk/jenis usa yang dilakukan 4. ada ketentuan bagian masing – masing 5. ada perjanjian

SERIKAT 'inan

Pengertian dan Hukum Syirkah
Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku (fi’il mudhâri’), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau serikat (Kamus Al-Munawwir, hlm. 765). Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, 3/58, dibaca syirkah lebih fasih (afshah).
Menurut arti bahasa, syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya (An-Nabhani, 1990: 146). Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan (An-Nabhani, 1990: 146).

Syirkah hukumnya jâ’iz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi Shalallahu alaihi wasalam berupa taqrîr (pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi, orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan Nabi Shalallahu alaihi wasalam membenarkannya. Nabi Shalallahu alaihi wasalam bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra : Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang ber-syirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya. [HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni].
Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:
1) Akad (ijab-kabul), disebut juga shighat;
2) Dua pihak yang berakad (‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta);
3) Obyek akad (mahal), yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (mâl)
Adapun syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu:
a) baligh, berakal sehat, dan merdeka
b) modal dapat di ukur dengan uang
c) mencampurkan harta sehingga tidak dapat di bedakan lagi pemiliknya
d) ADRT harus jelas, sehingga terhindar dari penyimpangan
e) untung dan rugi diatur dengan perbandingan modal masing-masing
Macam-Macam Syirkah
Menurut An-Nabhani, berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai hukum syirkah dan dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Islam: yaitu:
Syirkah Inân
Syirkah inân adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mâl). Contoh syirkah inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.
Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad. Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal.
Syirkah ‘Abdan
Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya). Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.
Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk). Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah (An-Nabhani, 1990: 151). Ibnu Mas’ud ra. pernah berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.” [HR. Abu Dawud dan al-Atsram]. Hal itu diketahui Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam dan beliau membenarkannya dengan taqrîr beliau (An-Nabhani, 1990: 151).
Syirkah Mudhârabah
Syirkah mudhârabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal (mâl) (An-Nabhani, 1990: 152). Istilah mudhârabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qirâdh (Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836). Contoh: A sebagai pemodal (shâhib al-mâl/rabb al-mâl) memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai pengelola modal (‘âmil/mudhârib) dalam usaha perdagangan umum (misal, usaha toko kelontong).
Hukum syirkah mudhârabah adalah jâ’iz (boleh) berdasarkan dalil as-Sunnah (taqrîr Nabi Shalallahu alaihi wasalam) dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 153). Dalam syirkah ini, kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola (mudhârib/‘âmil). Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.
Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudhârabah berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya (An-Nabhani, 1990: 152). Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau karena melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.
Syirkah Wujûh
Syirkah wujûh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam. Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja (‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (mâl). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudhârabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudhârabah padanya (An-Nabhani, 1990: 154).
Bentuk kedua syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak (An-Nabhani, 1990: 154). Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).
Dalam syirkah wujûh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujûh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan (An-Nabhani, 1990: 154).
Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya termasuk syirkah mudhârabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah ‘abdan. Syirkah mudhârabah dan syirkah ‘abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam syariat Islam (An-Nabhani, 1990: 154).
Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujûh) yang dimaksud dalam syirkah wujûh adalah kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah), bukan semata-semata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur, atau suka menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah wujûh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan (An-Nabhani, 1990: 155-156).
Syirkah Mufâwadhah
Syirkah mufâwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inân, ‘abdan, mudhârabah, dan wujûh) (An-Nabhani, 1990: 156; Al-Khayyath, 1982: 25). Syirkah mufâwadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya (An-Nabhani, 1990: 156).
Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).
Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C.
Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.
An-Nabhani berpendapat bahwa semua itu adalah syirkah yang dibenarkan syariah Islam, sepanjang memenuhi syarat-syaratnya. Pandangan ini sejalan dengan pandangan ulama Hanafiyah dan Zaidiyah.
Menurut ulama Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: syirkah inân, abdan, mudhârabah, dan wujûh. Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya tiga macam, yaitu: syirkah inân, abdan, dan mudhârabah. Menurut ulama Syafi’iyah, Zahiriyah, dan Imamiyah, yang sah hanya syirkah inân dan mudhârabah (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, 4/795)
Hikmah syirkah
a) Terciptannya kekuatan dan kemajuan, khususnya di bidang ekonomi
b) Pemikiran untuk kemajuan perusahaan bisa lebih mantap, karena hasil pemikiran dari banyak orang
c) Semakin terjalinnya rasa persaudaran dan solidaritas untuk kemajuan bersama
d) Jika usahanya berkembang dengan baik dan jangkauan oprasionalnya semakin luas, maka dengan sendirinya syirkah banyak menampung tenaga kerja.

QIRAD

Qirad merupakan salah satu jenis muamalah yang juga sering terjadi dalam masyarakat. Berikut akan di bahas beberapa masalah,yang meliputi pengertian qirad,hukum qirad,qirad sebagai bentuk kepedulian terhadap masyarakat miskin,rukun dan syarat qirad, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam qirod, dan macam-macam qirod.
A. Pengertian Qirod
Qirad ialah kerja sama dalam bentuk pinjaman modal tanpa bunga dengan perjanjian bagi hasil. Biasanya qirad dilakukan pemilik modal ( baik perorangan maupun lembaga ) dengan orang lain yang memiliki kemampuan dan kemauan untuk menjalankan suatu usaha. Besar atau kecilnya bagian tergantung pada pemufakatan kedua belah pihak,yang penting tidak ada pihak-pihak yang dirugikan. Apabila qirad menyangkut uang yang cukup besar,sebaiknya diadakan perjanjian tertulis dan dikuatkan dua orang saksi yang disetujui oleh kedua belah pihak.
B. Hukum Qirad
Hukum qirad adalah Mubah. Rasulullah sendiri pernah mengadakan qirad dengan siti Khadijah ( sebelum menjadi istri beliau ) sewaktu berniaga ke negri Syam. Dalam kenyataan hidup, aa beberapa orang yang memiliki modal, tetapi tidak mampu atau tidak sempat mengembangkannya. Sementara itu, ada yang memiliki kesempatan dan kemampuan berusaha,tetapi tidak memiliki modal. Islam memberi kesempatan kepada keduanya untuk mengadakan kerja sama dalam bentuk qirad.
C. Qirad sebagai salah satu bentuk peduli terhadap masyarakat miskin
Dalam kenyataan hidup sehari-hari,qirad dapat membantu sebagian masyarakat miskin dalam upaya mencukupi kebutuhan hidupnya. Modal yang dipinjam tersebut dapat digunakan untuk usaha sesuai bakat dan kemampuan peminjam. Bagi pemilik modal,qirod merupakan bukti kepedulian kepada masyarakat miskin. Rasulullah bersabda “ Tidaklah seorang muslim memberi pinjaman kepada muslim yang lain dengan dua kali pinjaman,kecuali perbuatan itu seperti sedekah satu kali.(H.R.Ibnu Majah ).
D. Rukun dan Syarat Qirad
Qirad bisa berlangsung apabila terpenuhi Rukun dan Syarat.
1. Rukun
a. Pemilik dan penerima modal
b. Modal
c. Pekerjaan
d. Keuntungan
2. Syarat
Adapun syarat-syaratnya adalah harus dewasa,sehat akal, dan sama-sama rela,harus diketahui secara jelas (jumlahnya) baik oleh pemilik maup[un penerima modal, sesuai bakat dan kemampuannya. Pemilik modal perlu mengetahui jenis pekerjaan tersebut. Besar atau kecilnya bagian keuntungan hendaknya dibicarakan saat mengadakan perjanjian.
E. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam qirad
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam masalah qirad antara lain sebagai berikut:
1. Penerima dan pemilik modal harus saling mempercayai dan dapat dipercaya.
2. penerima modal harus bekerja secara hati-hati.dalam mencukupi kebutuhan pribadi,hendaknya tidak menggunakan modal.
3. perjanjian antara pemilik dan penerima modal hendaknya dibuat sejelas mungkin.jika dipandang perlu,dicarikan saksi yang disetujui oleh kedua belah pihak.
4. jika terjadi kehilangan atau kerusakan diluar kesengajaan penerima modal,hendaknyaditanggung oleh sipemilik modal.
5. jika terjadi kerugian, hendaknya ditutyp dengan keuntungan yang lalu. Jika tidak ada, hendaknya kerugian itu ditanggung oleh pemilik modal.
F. Macam-macam qirad
Qirad dapat dilakukan oleh perorangan,dapat pula dilakukan oleh organisasi atau lembaga lain dengan nasabahnya. Dalam kehidupan modern,qirad dapat berupa kredit candak kulak,KPR,dan KMKP.
1. Kredit Candak Kulak
Kredit candak kulak ialah pinjaman modal yang diberikan kepada para pedagang kecil dengan sistem pengembalian sekali dalam seminggu dan tanpa tanggungan atau jaminan.biasanya kredit candak kulak dilakukan oleh KUD. Kredit jenis ini bertujuan untuk membantu masyarakat kecil agar dapat memiliki jenis usaha tertentu, misalnya berjualan makanan ringan,membuat tempe kedelai,atau usaha lain yang memerlukan biaya relatif ringan. Dengan cara seperti ini, diharapkan mereka pada saat nanti dapat terangkat dari masyarakat prasejahtera menjadi sejahtera dan tidak menggantungkan nasibnya kepada orang lain.
2. Kredit Pemilikan Rumah (KPR)
KPR bertujuan untuk membantu masyarakat yang belum memiliki rumah. Bank menyediakan fasilitas berupa perumahan,dari yang bertipe sederhana hingga mewah.Masyarakat yang berminat untuk memiliki rumah tersebut diwajibkan membayar uang muka yang besarnya bervariasi, sesuai dengan tipe rumahyang diinginkan. Selanjutnya,pada jangka waktu tertentu orang itu membayar angsuran sesuai dengan perjanjian yang dibuat kedua belah pihak. Dengan demikian, diharapkan masyarakat tidak terlalu berat untuk memiliki rumah.
3. Kredit Modal Karya Permanen (KMKP)
KMKP dilaksanakan baik oleh bank negara maupun bank swasta. Pada saat ini, kredit jenis ini sudah tidak ada, yang ada sekarang adalah KUK (Kredit Usaha kecil). Kredit ini hanya melayani masyarakat yang sudah mampu sehingga lebih bersifat pengembangan usaha yang sudah ada. Oleh sebab itu sasaran yang dibina juga terbatas.
G. Hikmah Qirad
Antara lain:
a. Terwujudnya tolong menolong sebab tidak jarang orang yang punya modal Tetapi tidak punya keahlian berdagang atau sebaliknya punya keahlian berdagang tetapi tidak punya modal.
b. Salah satu perilaku ibadah yang lebih mendekatkan diri pada rahmat Allah karena dapat melepaskan kesulitan orang lain yang sangat membutuhkan pertolongan.
c. Bagi yang mengqiradkan akan diberikan pahala dan kemudahan oleh Allah baik urusan dunia maupunurusan akhirat.
d. Terciptanya kerjasama antara pemberi modal dan pelaksanaan yang pada akhirnya dapat menumbuhkan dan memperkembangkan perekonomian ummat.
e. Terbinanya pribadi-pribadi yang taaluf (rasa dekat) antara keduanya
f. Yang memberikan pinjaman modal akan mendapat unggulan pahala hingga delapan belas kali lipat bisa dibandingkan dengan sedekah hanya sepuluh kali.
PENDAHULUAN
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Ilahi Robbi atas curahan nikmat dan karunia Nya sehingga makalah ini dapat selesai dengan baik,meskipun masih jauh dari kesempurnaan . Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan pada Rasulullah Muhammad saw,beserta keluarganya. Semoga kita selaku pengikut setianya,dapat
menegakkan niali-nilai sunnah secara integral dalam kehidupan pribadi dan social . Amin
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas semester satu berdasarkan kesadaran betapa pentingnya sumber belajar yang dapat memandu kreativitas dan pencapaian prestasi belajar saya khususnya dan teman mahasiswa umumnya, tanpa harus bergantung pada sosok dosen di kampus . Adanya makalah ini di harapkan dapat memotivasi terciptanya komunitas belajar di lingkungan kampus.
Semoga dengan adanya makalah yang sederhana ini dapat memberikan alternative terbangunnya paradigma kreatif dan konstruktif terhadap proses pembelajaran Agama Islam di kampus. Akhirnya kami menyadari adanya kekurangan yang melekat pada pembuatan makalah ini,untuk itu kritik dan saran dari dosen agama,teman mahasiswa dan semua pihak yang berkompeten,merupakan suatu hal yang berharga dan sangat berarti dalam menyempurnakan karya ini,menuju Izzul Islam wal Muslimin. Semoga segala iktikad dan ikhtiyar yang dilakukan mendapatkan rahmat dan ridla Allah swt. Amin ya Robbal ‘Alamin