Senin, 10 November 2008

Apakah-budaya-indonesia-menghambat-kemajuan

Kolumnis harian The New York Times, Thomas Friedman yang luas sekali khalayak pembacanya di berbagai benua, dalam sebuah tulisan baru-baru ini mengutip sebuah buku karya Lawrence Harrison. Karya tersebut mengkaji dampak budaya sebuah bangsa pada dinamika politik dan pembangunan ekonomi di negara yang bersangkutan.

Si penulis tiba pada kesimpulan bahwa ada sejumlah bangsa-bangsa yang budayanya memang mendorong laju kemajuan (istilah bahasa Inggrisnya progress-prone). Tapi, menurut Lawrence Harrison, ada pula sejumlah bangsa-bangsa yang budayanya cenderung menghambat kemajuan (istilah bahasa Inggrisnya progress-resistance).

Berdasarkan kerangka analisis itu, para pengamat wilayah Asia Tenggara sering membanding-bandingkan perkembangan di dua negara: Indonesia dan Vietnam. Memang dua bangsa itu memiliki ciri-ciri kesejarahan yang paralel. Mereka masing-masing memproklamasikan kemerdekaan secara unilateral setelah Perang Asia-Pasifik berakhir pada 14 Agustus 1945. Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 di Jakarta. Dan Ho Chi Minh mencanangkan kemerdekaan Vietnam pada 2 September 1945 di Hanoi.

Baik Indonesia, maupun Vietnam harus mengangkat senjata untuk mempertahankan kemerdekaannya. Namun, kalau perjuangan Indonesia melawan kolonialisme Belanda relatif singkat-maka Vietnam harus berhadapan dengan Perancis selama bertahun-tahun sampai 1954. Kemudian ia terlibat dalam suatu peperangan dahsyat melawan adikuasa dunia, Amerika Serikat. Perdamaian dan persatuan Vietnam baru tercipta pada tahun 1975.

*

Hasil sementara (moga-moga hanya “sementara”) dari perbandingan demikian menyimpulkan bahwa budaya Vietnam cenderung mendorong kemajuan. Sedangkan budaya Indonesia seperti menghambat kemajuan.

Memang setiap pengamat yang mengunjungi Vietnam sekarang, mau tidak mau terkesan oleh semangat kerja dan gairah hidup masyarakat Vietnam. Sebagai seorang yang secara periodik mengunjungi Vietnam, dan tertarik pada sejarah modernnya, dalam kunjungan bulan April lalu di Hanoi saya tertegun menatap hiruk-pikuk keramaian kota Hanoi.

“Dalam sepuluh tahun, ekonomi Vietnam mengadakan loncatan kuantum dari tahap sepeda ke sepeda motor,” demikian observasi seorang wartawan AS. Bangsa yang berjumlah 82 juta ini seperti mesin yang berputar siang-malam, bekerja tanpa henti.

Vietnam secara resmi adalah negara komunis, di mana partai komunis yang berkuasa. Tapi budayanya memang pragmatis. Ketika Uni Soviet ambruk pada tahun 1991 dan tetangga raksasa di sebelah Utara, Republik Rakyat Tiongkok, mempraktekkan prinsip ekonomi pasar, maka Vietnam juga menyesuaikan diri. Investasi asing disambut tidak hanya dengan ucapan manis dan janji muluk, tapi dengan tindakan nyata.

Contoh yang sering disebut-sebut akhir-akhir ini adalah kasus investasi perusahaan elektronik Intel Corp. Rencana orisinalnya, ia akan membangun pabrik chip dengan fasilitas uji coba di lokasi seluas 13.500 meter persegi dengan investasi 300 juta dolar AS.

Namun, setelah terkesan oleh lingkungan investasi yang kondusif, Intel Corp mengumumkan akan melipatgandakan investasinya itu menjadi sekitar satu miliar dolar AS. Dan lokasinya di luar kota Ho Chi Minh diperluas menjadi 45 ribu meter persegi.

Wakil Presiden Intel Corp Brian Krzanich menerangkan, keputusan itu didasarkan, karena, “Vietnam memiliki penduduk yang dinamis, sistem pendidikan yang bertambah baik, tenaga kerja yang produktif dan pemerintahan yang memandang kedepan. Pada tahun 2009, ketika pabrik itu mulai operasional, sekitar 4 ribu buruh mendapatkan lapangan kerja.

Sikap memandang ke depan dan tidak terjerat oleh kemegahan masa-lampau (Vietnam berhasil mengalahkan AS secara strategik) yang ditekankan oleh seorang redaktur dan penulis The New York Times, Roger Cohen, setelah baru-baru ini ia keliling Vietnam. “Budaya Vietnam berfokus ke depan. Kadang-kadang memang perlu kompromi, tapi kemudian maju terus, “tulisnya.

*

Baru-baru ini, Profesor Michael Porter dari Harvard Business School (bagian dari Universitas Harvard di Cambridge, AS) diundang untuk menyampaikan ceramah-ceramah di Jakarta. Ia dikenal sebagai pakar ekonomi, khususnya tentang peningkatan produktivitas dan daya-saing. DR. Porter telah diundang oleh sejumlah negara sebagai konsultan khusus.

Pertemuan yang agaknya paling menarik berlangsung Selasa malam (28/11) dengan sejumlah tokoh-tokoh pemerintahan Indonesia, termasuk juga Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan pimpinan badan-badan independen seperti Bank Indonesia.

Apa yang dikemukakannya Selasa malam dihadapan tokoh-tokoh pemerintah pusat dan yang disampaikannya pada ceramah umum Rabu lalu (29/11) dengan tema “Mengembangkan daya saing dalam lingkungan Global” (terjemahan bahasa Indonesia), merupakan suatu daftar kelemahan-kelemahan yang ada pada diri Indonesia sekarang ini.

Kalau disimpulkan, maka diagnosa yang dilakukan Profesor Michael Porter terhadap pasiennya Indonesia, sebagai berikut: “Perekonomian Indonesia stagnan dan produktivitas rendah karena sejumlah faktor: sistem tenaga kerja tidak efisien, ber-bagai peraturan dan prosedur baik di pusat maupun di daerah yang sering saling bertentangan, infrastruktur yang tidak me- madai.

Indonesia berusaha keras menarik investasi asing tapi lingkungan berbisnis justru seperti menolak investasi. Mentalitas yang terlalu memikirkan kepentingan sendiri dalam jangka pendek harus dirubah. Dunia sekarang sedang maju cepat, kalau Indonesia tidak segera melakukan pembenahan diri, maka akan ketinggalan.”

Demikian inti yang tersimpul dalam pesan-pesan Profesor Potter. Ia tidak pergunakan istilah progressive-resistant, tapi jelas, yang dimaksud betapa budaya Indonesia itu seperti menghambat kemajuan.

Berbagai cerita aneh-aneh yang dapat kita tampung. Tentang sebuah perusahaan pertambangan internasional yang ingin mengadakan investasi sekitar 2 miliar dolar AS di luar Jawa di lokasi dengan endapan logam yang sudah terbuktikan.

Berbagai prosedur dan peraturan diikuti dengan tekun. Namun di mana ada peraturan yang saling bertentangan, sulit menemukan pejabat yang berani mengambil keputusan. Akhirnya, setelah lebih setahun, proses investasinya ngambang terus. Cerita demikian dalam berbagai versi begitu sering kita tampung.

Sebenarnya Indonesia pernah mengalami tahap-tahap ketika semangat hidup, kegairahan bekerja dan keberanian mengambil risiko nampak mekar. Kenapa sekarang ini, ketika Indonesia membanggakan dirinya sebagai negara demokrasi dan presidennya rajin ke luar negeri untuk menarik investasi, maka justru para pejabatnya dan birokrasinya ragu-ragu mengambil keputusan, enggan mengambil risiko demi kemajuan?

Dalam long march kita sebagai bangsa yang kadang-kadang jatuh-bangun, agaknya kita mesti yakin bahwa bangsa ini masih memiliki kekuatan utuh yang mampu mengubah budayanya supaya mendorong kemajuan.

*) Penulis adalah pengamat perkembangan sosial politik dan masalah internasional

Sumber : http://groups.yahoo.com/group/pakguruonline/message/2370


Tidak ada komentar: