Minggu, 31 Oktober 2010

Pengertian Luqathah

Luqathah ialah harta yang hilang dari tangan pemilikinya, yang kemudian ditemukan orang lain. Luqathah ialah setiap barang yang dijaga, yang hampir sia-sia dan tidak diketahui siapa pemiliknya. Luqathah adalah menemukan barang yang hilang karena jatuh, terlupa, dan sebagainya. Kebanyakan kata Luqathah dipakai untuk barang temuan selain hewan. Adapun untuk hewan sering disebut dhallah.
Secara lugas dalam hadis diterangkan bahwa barang temuan adalah milik seseorang yang terpisah dari orang tersebut. Barang temuan dalam bahasa Arab (Bahasa Fuqaha) disebut al-Luqathah, menurut bahasa (etimologi) artinya ialah sesuatu yang ditemikan atau didapat.
Menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri bahwa al-Luqathah ialah nama untuk barang yang ditemukan.
Sedangkan menurut istilah (etimologi) yang dimaksud dengan al-Luqathah sebagaimana yang dita’rifkan oleh para ulama sebagai berikut:
a. Muhamad al-Syarbini al-Khatib berpendapat bahwa al-Luqathah ialah: “Sesuatu yang ditemukan atas dasar hak yang mulia, tidak terjaga dan yang menemukan tidak mengetahui mustahiqnya”.
b. Syaikh Syihab al-Din al-Qalyubi dan Syaikh Umairah berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan al-Luqathah ialah:
“Sesuatu dari harta atau sesuatu yang secara khusus semerbak ditemukan di daerah harby, tidak terpelihara dan tidak dilarang karena kekuatannya, yang menemukan tidak mengetahui pemilik barang tersebut”.
c. Al-Imam Taqiy al-Din Abii Bakr Muhammad al-Husaini bahwa al-Luqathah menurut syara’ ialah:
Pengambilan harta yang mulia sebab tersia-siakan untuk dipeliharanya atau dimilikinya setelah diumumkan”

2.2 Hukum Pengambilan Barang Temuan
Hukum pengambilan barang temuan dapat berubah-ubah tergantung pada kondisi tempat dan kemampuan penemunya, hukum pengmbilan barang temuan antara lain sebagai berikut:
a. Wajib, yakni wajib mengambil barang temuan bagi penemunya, apabila orang tersebut percaya kepada dirinya bahwa ia mampu mengurus benda-benda temuan itu dengan sebagaimana mestinya dan terdapat sangkaan berat bila benda-benda itu tidak diambil akan hilang sia-sia atau diambil oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab.
b. Sunnat, sunnat mengambil barang temuan bagi penemunya, apabila orang tersebut percaya kepada dirinya bahwa ia mampu mengurus benda-benda temuan itu dengan sebagaimana mestinya tetapi bila tidak diambilpun barang –barang tersebut tidak dikhawatirkan akan hilang sia-sia.
c. Makruh, bagi seseorang yang menemukan harta, kemudian kemudian masih ragu-ragu apakah dia akan mampu memelira benda-benda tersebut.
d. Haram, bagi orang yang menemukan suatu benda, kemudian dia mengetahui bahwa dirinya sering terkena penyakit tamak dan yakin betul bahwa dirinya tidak akan mampu memelihara barang tersebut.


2.3 Rukun-rukun Al-Luqathah
Rukun-rukun dalam al-Luqathah ada dua, yaitu orang yang mengambil (yang menemukan) dan benda-benda atau barang-barang yang diambil.

2.4 Macam-macam benda yang diperoleh
Terdapat macam-macam benda yang dapat ditemukan oleh manusia, macam-macam benda temuan itu adalah sebagai berikut:
a. Benda-benda tahan lama, yaitu benda-benda yang dapat disimpan dalam waktu yang lama.
b. Benda-benda yang tidak tahan lama, yaitu benda-benda yang tidak dapat disimpan dalam waktu yang lama.
c. Benda-benda yang memerlukan perawatan, seperti padi harus dikeringkan dan lain-lain.
d. Benda-benda yang memerlukan perbelanjaan, seperti binatang ternak.

2.5 Kewajiban Orang Yang Menemukan Barang Temuan
Orang yang menemukan barang wajib mengenal ciri-cirinya dan jumlahnya kemudian mempersaksikan kepada orang yang adil, lalu ia menjaganya dan mengumumkan kepada khalayak selama setahun. Jika pemiliknya mengumumkan di berbagai media beserta ciri-cirinya, maka pihak penemu (harus) mengembalikannya kepada pemiliknya, meski sudah lewat setahun. Jika tidak, maka boleh dimanfa’atkan oleh penemu.
Dari Suwaid bin Ghaflah, ia bercerita : Saya pernah berjumpa Ubay bin Ka’ab, ia berkata, Saya pernah menemukan sebuah kantong berisi (uang) seratus Dinar, kemudian saya datang kepada Nabi saw (menyampaikan penemuan ini), kemudian Beliau bersabda, “Umumkan selama setahun”. Lalu saya umumkan ia, ternyata saya tidak mendapati orang yang mengenal kantong ini. Kemudian saya datang (lagi) kepada Beliau, lalu Beliau bersabda, “Umumkanlah ia selama setahun”. Kemudian saya umumkan ia selama setahun, namun saya tidak menjumpai (pemiliknya). Kemudian saya datang (lagi) kepada Beliau untuk ketiga kalinya, lantas Beliau bersabda, “Jaga dan simpanlah isinya, jumlahnya, dan talinya. Jika suatu saat pemiliknya datang (menanyakannya), (maka serahkanlah). Jika tidak, boleh kau manfaatkan”. Kemudian saya manfa’atkan. Lalu saya (Suwaid) berjumpa (lagi) dengan Ubay di Mekkah, maka ia berkata, “Saya tidak tahu, (beliau suruh menjaganya selama) tiga tahun atau satu tahun.”
Dari ‘Iyadh bin Hammar ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa mendapatkan barang temuan, maka hendaklah persaksikan kepada seorang atau dua orang yang adil, kemudian janganlah ia mengubahnya dan jangan (pula) menyembunyikan(nya). Jika pemiliknya datang (kepadanya), maka dialah yang lebih berhak memilikinya. Jika tidak, maka barang temuan itu adalah harta Allah yang Dia berikannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.”

Ketentuan dalam hadis memberikan arahan kepada penemu barang/ sesuatu yang bukan miliknya untuk melakukan hal berikut:
a. Ketika menemukan sesuatu yanng bukan milik sendiri, maka penemu, untuk sementara wajib memelihara dan menyimpannya, sampai batas waktu tertentu atau sampai pemiliknya datang untuk mengambilnya.
b. Penemu wajib memberitahukan atau mengumumkan bahwa ada barang yang ditemukannya. Caranya: yang pertama adalah mengenali atau mengamati tanda-tanda yang membedakan dengan barang lain dan mengamati jenis dan ukurannya. Setelah itu, dengan mengumumkan kemasan (tempat) dan pengikatnya. Dengan hanya memberi tahu kemasan atau tempatnya saja, orang yang mengaku pemilik dapat dimintai keterangannya mengenai barangnya yang hilang. Hal ini mungkin untuk menjaga jatuhnya barang tersebut kepada yang bukan pemiliknya.
c. Apabila pemiliknya datang dan ia dapat menyebutkan tanda atau ciri-ciri barang tersebut dengan pas dan sesuai dengan yang ditemukan, maka penemu harus menyerahkannya kepada orang tersebut.
d. Jika pemiliknya tidakk datang juga, waktu maksimal untuk mengumumkannya selama satu tahun. Setelah satu tahun tidak ada yang mengaku sebagai pemilik, maka penemu dapat memanfaatkannya untuk dirinya atau orang lain.

2.6 Dhallah Berupa Kambing dan Unta
Barangsiapa mendapatkan dhallah (barang temuan) berupa kambing, maka hendaklah diamankan dan diumumkan, manakala diketahui pemiliknya maka hendaklah diserahkan kambing termaksud kepadanya. Jika tidak, maka ambillah ia sebagai miliknya. Dan, siapa saja yang menemukan dhallah berupa unta, maka tidak halal baginya untuk mengambilnya, karena tidak dikhawatirkannya (tersesat).
Dari Zaid bin Khalid al-Juhanni ra, ia bercerita: Ada orang Arab badwi datang menemui Nabi saw, lalu bertanya kepadanya tentang barang temuannya. Maka beliau menjawab, “Umumkanlah ia selama setahun, lalu perhatikanlah bejana yang ada padanya dan tali pengikatnya. Kemudian jika datang (kepadamu) seorang yang mengabarkan kepadamu tentang barang tersebut, (maka serahkanlah ia kepadanya). Dan, jika tidak, maka hendaklah kamu memanfaatkan ia.” Ia bertanya, “Ya Rasulullah, lalu (bagaimana) barang temuan berupa kambing?” Maka jawab Beliau, “Untukmu, atau untuk saudaramu, atau untuk serigala.” Ia bertanya (lagi), ”Bagaimana tentang barang temua berupa unta?” Maka raut wajah Nabi saw berubah, lalu Rasulullah bersabda, “Mengapa kamu menanyakan unta? Ada bersamanya terompahnya dan memiliki perut, ia mendatangi air dan memakan rerumputan.”

2.7 Hukum (Barang Temuan) Berupa Makanan Dan Barang Yang Sepele
Barangsiapa yang mendapatkan makanan di tengah jalan, maka boleh dimakan, dan barang siapa menemukan sesuatu yang sepele yang tidak berkaitan erat dengan jiwa orang lain, maka boleh dipungut dan halal dimilikinya.
Dari Anas ra ia berkata: Nabi saw pernah melewati sebiji tamar di (tengah) jalan, lalu beliau bersabda, “Kalaulah sekiranya aku tidak khawatirkan sebiji tamar itu termasuk tamar shadaqah, niscaya aku memakannya.”

2.8 (Barang Temuan) Di Kawasan Tanah Haram
Adapun luqathah (barang temuan) di daerah tanah haram, maka tidak boleh dipungutnya kecuali dengan maksud hendak diumumkan kepada khalayak hingga diketahui siapa pemiliknya. Dan, tidak boleh memilikinya meskipun sudah melewati setahun lamanya mengumumkannya, tidak seperti luqathah di daerah lainnya; berdasarkan hadits:
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan Mekkah, yaitu tidak halal bagi seorang pun sebelumku dan tidak halal (pula) bagi seorang pun sepeninggalku; dan sesungguhnya dihalalkan untukku hanya sesaat di siang hari. Tidak boleh dicabut rumputnya, tidak boleh dipotong pohonnya, tidak boleh membuat lari binatang buruannya, dan tidak boleh (pula) mengamankan barang temuannya kecuali untuk seorang yang akan mengumumkan.”
2.9 Al-Ja’alah
Bagi seseorang yang kehilangan sesuatu yang berharga menurut pendapatnya, tentu akan berupaya (berusaha) menemukan kembali benda-bendanya yan hilang, salah satu cara mencari benda-benda yang hilang dan boleh menurut para ulama adalah dengan pengumuman, baik melalui media cetak maupun elektronik, pengumuman ini biasanya dibarengi dengan imbalan (diberikan imbalan) bagi penemunya sebagai perangsang atau daya tarik.
Arti ja’alah menurut logat, ialah nama bagi pemberian kepada seseorang karena mengerjakan sesuatu pekerjaan.
Arti ja’alah menurut istilah, ialah pemberian upah tertentu bagi orang yang mengembalikan barang yang hilang.
Al-Ja’alah dapat diartikan juga sebagai sesuatu yang mesti diberikan sebagai pengganti suatu pekerjaan dan padanya terdapat suatu jaminan, meskipun jaminan itu tidak dinyatakan, al-Ja’alah dapat diartikan pula sebagai upah mencari benda-benda yang hilang.

Syarat-syarat al-Ja’alah
Secara esensial pada al-Ja’alah disyaratkan supaya nyata (jelas), maka syarat-syarat jelasnya al-Ja’alah adalah sebagai berikut:
a. Kalimat atau lafazh yang menunjukkan izin pekerjaan, yang merupakan syarat atau tuntutan dengan tukaran tertentu. Bila seseorang mengerjakan perbuatan, tetapi tanpa seizin orang yang menyuruh (yang punya barang), maka baginya tidak ada (tidak memperoleh) suatu apapun, jika barang itu ditemukan.
b. Keadaan al-Ja’alah itu hendaklah ditentukan, uang atau barang, sebelum seseorang mengerjakan pekerjaan itu.

Tidak ada komentar: