1. PENDAHULUAN
Apakah saat ini sudah tepat bagi negara Indonesia untuk memiliki suatu undang-undang baru yang mengatur cybercrime (=kejahatan di dunia maya)? Ataukah cukup kita membekali aparat penegak hukum, termasuk polisi dan penyidik, dengan memberikan bahan-bahan serta pelatihan tentang kejahatan ini?
Simak kejadian berikut ini:
Pada bulan April 2002 di New Jersey, Amerika Serikat, seorang wanita bernama Patricia Barteck memanggil polisi ketika melihat seorang pria asing mengawasinya dari mobilnya yang diparkir di depan rumahnya. Pria tersebut mendatangi rumah Patricia karena mendapat undangan dari Internet untuk melakukan ‘fantasi perkosaan’. Sebenarnya, undangan ini dikeluarkan oleh ipar Patricia yang bernama Jonathan Gilberti. Jonathan menggunakan identitas, data-data fisik, dan alamat rumah Patricia untuk berpartisipasi dalam suatu sex fantasy chat room . Jonathan menggunakan media ini untuk menyatakan ‘keinginannya’ merealisasikan hasratnya untuk diperkosa.
Beruntunglah Patricia segera meminta perlindungan polisi dan aparat hukum sehingga kejadian perkosaan tersebut tidak terjadi. Atas tindakan Jonathan yang membahayakan jiwa Patricia, ia dikenakan hukuman 10 tahun penjara. Proses pengadilan atas diri Jonathan dipenuhi dengan konflik dan perdebatan antara pengacara Jonathan dengan pihak penegak hukum. Masalah timbul ketika harus membuktikan / memberikan barang bukti bahwa telah terjadi suatu kejahatan. Bukti bahwa kejahatan di dunia maya adalah sesuatu yang nyata dan benar-benar membahayakan. Kasus Patricia Barteck mendapat perhatian dari parlemen dan Gubernur New Jersey, Richard Codey, yang pada akhirnya mengeluarkan “Internet Luring Statue”. Undang-undang ini berbunyi:
Seseorang yang melakukan kejahatan tingkat ke-tiga adalah jika orang tersebut mencoba, melalui media elektronik atau yang lain, memancing atau mengimingi orang lain untuk masuk ke suatu kendaraan mobil/motor, tempat/gedung yang terisolasi, atau bertemu di suatu tempat dengan maksud melakukan pelanggaran / tindakan kriminal terhadap orang lain yang telah terpancing atau masuk dalam perangkap.
Khusus tentang satu kejadian tersebut di atas saja, para legislator ditantang untuk mewujudkan suatu undang-undang yang adil, bijaksana dan tepat. Ada beberapa aspek yang perlu dipikirkan dengan mendalam, yakni:
1. a. Bagaimana membuktikan suatu tindakan adalah ‘niat melakukan kejahatan’ versus ‘ekspresi fantasi belaka’? Mengingat salah satu kenyamanan di dunia maya adalah kebebasan menyampaikan, melontarkan dan mengekspresikan ide atau pendapat, maka sangat sulit bagi para legislator untuk menentukan tindakan yang boleh dikategorikan sebagai suatu kejahatan. Ada yang berpendapat sah-sah saja mempunyai ide yang sangat beda dari pendapat umum dan dituangkan ke dalam suatu situs. Jadi kembali lagi ke pertanyaan semula, sudah merupakan suatu kejahatankah bila seseorang menuliskan seksual fantasinya di internet?
1. b. Andaikan ada suatu undang-undang cybercrime yang menyatakan bahwa ekspresi tertulis mengenai suatu tindakan asusila sudah merupakan kejahatan di Indonesia, bagaimana melakukan prosekusi terhadap penulisnya bila tulisan tersebut dilakukan di luar Indonesia? Padahal, korban berada di dalam wilayah hukum Indonesia. Demi memberikan proteksi kepada warga negara Indonesia, maka apakah kita berhak melakukan ekstensifikasi hukum ke negara lain?
1. c. Dapatkah suatu email atau percakapan internet menjadi barang bukti yang cukup kuat dalam suatu kejahatan (mengingat identitas penulis email atau pelaku percakapan dapat saja palsu atau tidak benar)?
1. d. Adalah suatu polemik bila suatu kejahatan mempunyai pilihan untuk dituntut dengan undang-undang yang dianggap ‘menguntungkan’. Contohnya, seseorang melakukan ancaman terhadap rekan kerjanya. Bila kejadian ini dilakukan oleh orang tersebut dengan menulis surat di kertas kemudian dikirimkan kepada rekannya, maka undang-undang yang menjeratnya adalah undang-undang pidana. Dalam hal ini, mungkin hukumannya adalah 3 tahun. Tetapi, bila dilakukan melalui email, maka undang-undang yang berlaku adalah undang-undang cybercrime di mana dapat diancam hukuman 4 tahun. Akan terasa aneh bila terdapat pilihan terhadap suatu kejahatan yang notabene sama.
Seperti yang dikatakan sebelumnya, tantangan yang baru saja kita bahas hanya sebatas satu tipe kejahatan yang muncul di dunia Internet. Padahal ada banyak jenis kejahatan yang termasuk cybercrime. Untuk itulah diperlukan suatu tim khusus di dalam badan legislatif yang merumuskan berbagai aspek kejahatan, situasi dan penanganan hukum demi melindungi warga negaranya.
II. DASAR PEMBENTUKAN CYBERCRIME LAW – Ketahanan & Keamanan Nasional
Bentuk cybercrime sudah sedemikian banyak dan semakin tak dapat dihentikan kecanggihannya berkat kemajuan teknologi, sehingga masyarakat semakin terekspos dan tidak terlindungi. Tidak dapat dipungkiri pula bahwa kebutuhan akan undang-undang ini adalah juga untuk menjaga keamanan dan ketahanan nasional (national security).
Seperti kita ketahui bahwa di atas jaringan / infrastruktur komputer terdapat jutaan aliran data yang terkoneksi dengan server (rumah data). Meskipun data-data tersebut telah dilindungi dengan peranti keras dan lunak yang paling mutakhir, namun tetap saja cybercrime dapat terjadi. Masalahnya justru bukan dikarenakan ada yang berhasil menembus jaringan (hacking), tetapi justru ada pihak-pihak dari dalam yang melakukan transportasi data secara ilegal (trade secret / industrial espionage). Kegiatan seperti ini popular disebut net-espionage.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam keamanan nasional adalah terorisme. Saat ini yang sudah terjadi di Indonesia adalah penggunaan email, chat-rooms dan website untuk melakukan kegiatan terorisme. Salah satu bentuk nyata kegiatan terorisme yang menggunakan Internet adalah aksi menebar fitnah / penghasutan, pengajaran cara merakit bom, pengiriman perintah eksekusi melalui email, dll.
Masih ada banyak lagi bentuk-bentuk cybercrime yang perlu dibuatkan bentuk penanganan hukumnya, antara lain, fraud / pemalsuan identitas, penipuan, spam, harassment / threats / ancaman, perjudian, hacking, penyalah-gunaan password / akses ilegal, pelanggaran hak-cipta / patent online, pengiriman virus, intersepsi / pencurian data, penyalah gunaan sistem / jaringan maupun peranti pendukungnya.
III. ASPEK PEMIKIRAN CYBERCRIME LAW
Sebelum melangkah ke proses pembentukan undang-undang itu sendiri ada hal-hal yang perlu diketahui sejalan dengan adanya perubahan dari kondisi interaksi masyarakat dari sebelum ke sesudah adanya dunia maya. Perkembangan teknologi telah mengubah kebiasaan hidup dan memperluas lingkungan interaksi.
Dalam konferensi ‘Digital Cops in A Virtual Environment’ yang diadakan oleh Yale University Law School, 26 -28 Maret 2004, dikatakan bahwa pergeseran ke lingkungan digital (digital environment) mengakibatkan 6 (enam) fenomena, yaitu:
1. Perubahan Tempat Kejadian Perkara (crime scene).
Tempat terjadinya kejahatan bukan lagi harus di suatu lokasi yang secara fisik ada, melainkan di situs web, ruang chatting, email atau di atas jaringan komputer.
2. Lahirnya Bentuk-Bentuk Kejahatan Baru
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, semakin mudahnya melakukan kejahatan yang meliputi penyalah gunaan informasi elektronik untuk terorisme, espionase, trafik data ilegal, penipuan identitas dll.
3. Perubahan Secara Radikal Cara Pelaksanaan Penegakkan Hukum
Mengingat bahwa kejadian di dunia maya ini sulit terdeteksi, maka perlu dipertimbangkan adanya suatu koloborasi dari masyarakat sipil dan aparat penegak hukum untuk melakukan suatu aksi. Ini berarti adanya kemungkinan bagi masyarakat untuk mengambil langkah hukum tertentu untuk menghalangi suatu kejahatan terjadi. Misalnya, bila ada suatu situs yang mempropagandakan terorisme atau pornografi, maka sebuah perusahaan penyedia jasa internet (Internet Service Provider / ISP) secara hukum dibenarkan untuk menutup situs tersebut. Hal ini melindungi ISP dari tuntutan yang bersifat diskriminasi atau penolakan terhadap layanan publik.
4. Penyediaan Sarana Pengawasan Jaringan Moderen Bagi Penegak Hukum
Di beberapa negara yang belum memberlakukan cybercrime law, maka teknik-teknik penyidikan yang menggunakan peralatan canggih belum dapat diterima di persidangan, seperti, alat penyadap jaringan. Meskipun alat penyadap jaringan tersebut dibutuhkan sebagai rekaman otentik terjadinya suatu pelanggaran, namun penggunaan alat ini dapat juga dinilai melanggar hak pribadi seseorang (privacy act). Jadi, perlu ditetapkan alat-alat elektronik / digital apa saja yang bisa digunakan untuk melakukan investigasi, menganalisa kejahatan, mengambil data, menelusuri jaringan dan melindungi infrastruktur masyarakat. Kekhawatiran sebagian besar masyarakat akan kehadiran peralatan tersebut adalah terciptanya suatu super-power control dari pemerintah terhadap kehidupan individu.
5. Terjadinya Antisipasi & Tantangan Terhadap Bentuk Proses Legal
Ruang pengadilan akan mengalami perubahan bentuk dengan dihadirkannya video conferencing. Ini berarti proses menjatuhkan sanksi hukum bisa dilakukan melalui internet pula. Namun bagaimana bila terjadi manipulasi jaringan selama proses tersebut sedang berlangsung yang mengakibatkan terjadi distorsi terhadap keputusan itu sendiri? Seperti halnya sekarang dengan sistem perpajakan di Indonesia di mana laporan tahunan oleh setiap wajib pajak boleh diberikan (malah dianjurkan) melalui online, maka ini berati memungkinkan untuk pengajuan segala bentuk laporan hukum juga boleh disampaikan melalui Internet.
6. Timbulnya Kebebasan Politik Dalam Bentuk Hacktivism
Di Amerika setiap warga mempunyai kebebasan untuk mengungkapkan pendapat. Seringkali kebebasan ini digunakan untuk melakukan indoktrinasi politik terhadap masyarakat luas. Di dunia cyber batasan antara kebebasan berpolitik ke kejahatan politik sulit dibendung. Informasi dari pihak tertentu dapat saja didiseminasikan kepada publik dengan paksa (email spamming). Kejahatan yang eksrim terjadi bila kebebasan ini dipakai untuk memasuk situs-situs lawan politiknya atau yang lebih halus adalah dengan cara ‘tidak sengaja’ mengirimkan ke konstituen lawan politik. Pemerintah Cina telah mengeluarkan suatu undang-undang yang memberikan aparat penegak hukum untuk melakukan filtering terhadap segala informasi yang berada di atas jaringan internet. Filtering ini adalah upaya kegiatan counter surveillance yang ditujukan demi keamanan nasional dan juga kestabilan politik.
Pertimbangan dan pemikiran di atas tersebut masih bisa diperluas lagi dengan menyesuaikan kondisi di Indonesia. Mengingat di Indonesia juga terdapat produk hukum lain, seperti hukum adat dan hukum syariat Islam, maka kompleksitas pembentukan undang-undang ini dinilai cukup tinggi. Itulah sebabnya para legislator kita memerlukan bukan saja keahlian hukum-hukum yang ada di Indonesia, tetapi juga pakar-pakar teknologi informasi dalam menyusun cybercrime law.
IV. ACUAN HUKUM INTERNASIONAL
Setelah mempelajari hal-hal yang perlu dipertimbangkan dan dipersiapkan dalam mewujudkan cybercrime law, maka langkah selanjutnya adalah mempelajari dan mendalami bentuk-bentuk hukum yang telah ada di dunia internasional.
4 Desember 2000 – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
PBB membuat suatu resolusi khusus yang mengatur cybercrime dan disetujui dalam General Assembly, yakni, Combating The Criminal Misuse Of Information Technologies, mengatur tentang hukuman bagi pelaku kejahatan penggunaan informasi dan perlindungan data / informasi bagi pemilik bila terjadi penyalah gunaan oleh orang lain.
2001 – Council of Europe (CoE)
Hampir di semua organisasi dan institusi internasional mengadopsi cybercrime law, namun organisasi yang paling siap mengimplementasikan hukum tersebut adalah Council of Europe (CoE). Produk hukum tersebut tertuang di dalam Council of Europe Convention On Cybercrime yang ditanda-tangani oleh 24 negara dan dibentuk di Budapest, Hungaria pada tahun 2001. Hukum tersebut mulai diberlakukan pada tahun 2007. Keberadaan hukum ini menjadi acuan dari cybercrime law di negara dan institusi lain.
19 April 2002 – European Union Council
EU mengeluarkan Framework Decision On Attacks Against Information Systems dalam menanggulangi kejahatan cyber. Ada 3 (tiga) bahasan utama yang terdapat di dalam framework ini, yakni, akses sistem informasi, gangguan sistem dan interferensi data secara ilegal. Framework ini masih sangat terbatas pada kejahatan teknologi belum mencakup kejahatan sosial seperti pornografi.
Selanjutnya berturut-turut organisasi yang membahas cybercrime laws adalah; APEC dalam pertemuan 17 November 2004 di Chile, The G-8 Group of States (Canada, Perancis, Jerman, Itali, Jepang, Rusia dan Inggris) – 11 May 2004,
The Organization of American States (OAS) – 27 Februari 2006, dan masih akan diikuti oleh negara-negara lain.
Pada tanggal 3 Agustus 2006, negara Amerika bergabung dengan Council of Europe dan memberikan ratifikasi atas Convention On Cybercrime. Hal ini menunjukkan keseriusan Amerika untuk mewujudkan cybercrime law yang bersifat internasional. Di dalam wilayah Amerika sendiri cybercrime law terus menerus mengalami penyempurnaan dan perubahan. Meskipun di setiap states mempunyai undang-undang khusus yang berlaku di wilayahnya, namun tetap saja diperlukan undang-undang di tingkat federal / pemerintah pusat dikarenakan kondisi cyber bersifat across the border.
V. PENUTUPAN
Menghadapi kenyataan bahwa perkembangan teknologi informasi yang diikuti dengan kejahatan cyber tidak akan berhenti, maka kehadiran cybercrime law sudah merupakan sesuatu yang urgent. Para legislator dihadapkan pada suatu tantangan untuk mempelajari dengan seksama dan memahami secara mendalam dunia teknologi informasi. Hal ini sangat diperlukan dalam merumuskan produk hukum untuk dunia cyber dengan tepat. Keterlambatan akan cybercrime law ini berdampak kepada rentannya ketahanan nasional dan keadaan seperti ini sangat mengkhawatirkan kesatuan negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar