Kematian Abdullah, tak pelak menyulut tangis yang berkepanjangan dari hati istrinya. Aminah tak kuasa dilanda kesedihan. Perempuan lembut itu menangis duka tak henti-hentinya. Rasanya, baru saja ia mengecap keindahan cinta, namun Tuhan telah merenggut suaminya dengan begitu cepat. Belum lama aura kasih meliputi kehidupannya, belum sempat pula ia bermanja-manja dengan suami. Dalam hitungan bulan, statusnya sebagai istri telah hilang terbang seperti daun kering. Melayang rapuh di langit. Bersamaan dengan terbangnya suka cita dari semburat wajahnya. Kedukaan ini datang secepat ketika kebahagiaan membalutnya karena tiba-tiba dipinang Abdullah.
Sesungguhnya rasa kehilangan ini amat manusiawi. Siapa pun yang berada pada posisi Aminah akan mengalami kedudukan yang tinggi. Ditambah Aminah perasaannya amat peka dan lembut. Namun, sekali lagi kuasa Tuhan ikut andil dalam hal ini. Kendati mengalami guncangan kehidupan, Tuhan memperkuat pondasi keimanan Aminah. Lewat kasih sayang-Nya, Dia menjaga kekuatan jiwa Aminah dalam menghadapi hari-hari kehamilannya. Aminah mengandung, tetapi sesekali tak merasa mengandung. Karena dirinya tidak merasa berat, penat, lembut atau bahkan mengalami ‘morning sick’ dan mual-mual. Kesehatan fisiknya setangguh ketika Aminah belum mengandung. Aminah bahkan kerap bermimpi hal-hal indah sekaligus misterius yang menguatkan cintanya pada sang bayi. Ia merasakan mimpi-mimpi itu memberinya kebahagiaan spiritual.
Para ahli tafsir menuturkan bahwa Aminah pernah bermimpi melihat seakan-akan dari bandannya keluar cahaya yang menerangi gedung-gedung di negari Syam. Bahkan sebuah suara ghaib telah terdengar di telinganya yang mengatakan bahwa dirinya sedang mengandung sebaik-baik insan di dunia. Dan menyuruhnya menamakan bayi itu dengan Muhammad (terpuji) kemudian merahasiakan hal ini.
Pada titik inilah sesungguhnya Aminah mencapai ketinggian kecerdasan spiritualnya. Di mana meskipun dilanda kesediahan, ia tetap memasrahkan dirinya kepada Tuhan. Kepasrahan yang kemudian melahirkan cinta pada sang jabang bayi yang akhirnya melahirkan kabahagiaan hatinya dan menguatkan jiwanya. Aminah sadar, sebagai manusia ia hanya bisa bersikap menerima apa pun yang menjadi takdirnya dengan tanpa prasangka sedikit pun. Apakah itu prasangka buruk, bahkan prasangka baik sekali pun. Keikhlasan yang total. Inilah satu-satunya jalan untuk meraih cinta Tuhan dengan mematikan rasa sedih dalam dirinya dan menggantikannya dengan setitik cinta. Ia ‘korbankan’ kepedihan jiwanya dengan menafikannya, lalu menyelemuti hatinya dengan iman. Subhanallah, Maha Suci Allah yang telah menunjuk Aminah sebagai ibunda dari manusia terbaik di dunia ini. Sikap ikhlasnya menunjukkan kecerdasan spiritual Aminah, dari rahimnyalah Nabi Muhammad kelak dilahirkan.
Pada malam tanggal 12 Rabiul Awal tahun Gajah atau 20 April 571 M, Aminah melahirkan bayi laki-laki mungil dan lucu, lewat persalinan paling sempurna yang pernah terjadi di alam ini. Tanpa merasa sakit, tanpa keringat yang menetes atau sekadar erangan layaknya perempuan yang akan melahirkan. Bahkan tanpa darah setetes pun. Aminah melahirkan bayinya dengan diringi aura kesunyian dan ketentraman batin. Instrument alam yang luar biasa. Konon pula, dari badan si bayi seakan-akan memancarkan cahaya putih dan lembut.
Kelahiran Muhammad kecil seakan-akan telah ‘menutup’ derita yang dialami Aminah dan Abdul Muthalib karena kematian Abdullah. Muhammad telah menjadi bentuk kebahagiaan tersendiri yang menyinari hati Aminah dan Abdul Muthalib. Menjadi tempat curahan cinta keduanya, menjadi harapan dan sanjungan hati. Kehadiran Muhammad, bahkan melebihi kebahagiaan apapun yang pernah mereka rasakan. Muhammad adalah karunia luar biasa.
Sumber:
Abdul Hamid Judah As Sahar. Sejarah Nabi Muhammad, Periode Mekkah. Mizan: Bandung. hlm. 78-80
Hamim Thohari. Tumbuh Kembang Kecerdasan Emosi Nabi. Pustaka Inti: Bekasi. 2006. hlm. 25-27
Karen Amstrong. Muhammad Sang Nabi, Sebuah Biografi Kritis. Risalah Gusti: Surabaya. hlm. 86
Sesungguhnya rasa kehilangan ini amat manusiawi. Siapa pun yang berada pada posisi Aminah akan mengalami kedudukan yang tinggi. Ditambah Aminah perasaannya amat peka dan lembut. Namun, sekali lagi kuasa Tuhan ikut andil dalam hal ini. Kendati mengalami guncangan kehidupan, Tuhan memperkuat pondasi keimanan Aminah. Lewat kasih sayang-Nya, Dia menjaga kekuatan jiwa Aminah dalam menghadapi hari-hari kehamilannya. Aminah mengandung, tetapi sesekali tak merasa mengandung. Karena dirinya tidak merasa berat, penat, lembut atau bahkan mengalami ‘morning sick’ dan mual-mual. Kesehatan fisiknya setangguh ketika Aminah belum mengandung. Aminah bahkan kerap bermimpi hal-hal indah sekaligus misterius yang menguatkan cintanya pada sang bayi. Ia merasakan mimpi-mimpi itu memberinya kebahagiaan spiritual.
Para ahli tafsir menuturkan bahwa Aminah pernah bermimpi melihat seakan-akan dari bandannya keluar cahaya yang menerangi gedung-gedung di negari Syam. Bahkan sebuah suara ghaib telah terdengar di telinganya yang mengatakan bahwa dirinya sedang mengandung sebaik-baik insan di dunia. Dan menyuruhnya menamakan bayi itu dengan Muhammad (terpuji) kemudian merahasiakan hal ini.
Pada titik inilah sesungguhnya Aminah mencapai ketinggian kecerdasan spiritualnya. Di mana meskipun dilanda kesediahan, ia tetap memasrahkan dirinya kepada Tuhan. Kepasrahan yang kemudian melahirkan cinta pada sang jabang bayi yang akhirnya melahirkan kabahagiaan hatinya dan menguatkan jiwanya. Aminah sadar, sebagai manusia ia hanya bisa bersikap menerima apa pun yang menjadi takdirnya dengan tanpa prasangka sedikit pun. Apakah itu prasangka buruk, bahkan prasangka baik sekali pun. Keikhlasan yang total. Inilah satu-satunya jalan untuk meraih cinta Tuhan dengan mematikan rasa sedih dalam dirinya dan menggantikannya dengan setitik cinta. Ia ‘korbankan’ kepedihan jiwanya dengan menafikannya, lalu menyelemuti hatinya dengan iman. Subhanallah, Maha Suci Allah yang telah menunjuk Aminah sebagai ibunda dari manusia terbaik di dunia ini. Sikap ikhlasnya menunjukkan kecerdasan spiritual Aminah, dari rahimnyalah Nabi Muhammad kelak dilahirkan.
Pada malam tanggal 12 Rabiul Awal tahun Gajah atau 20 April 571 M, Aminah melahirkan bayi laki-laki mungil dan lucu, lewat persalinan paling sempurna yang pernah terjadi di alam ini. Tanpa merasa sakit, tanpa keringat yang menetes atau sekadar erangan layaknya perempuan yang akan melahirkan. Bahkan tanpa darah setetes pun. Aminah melahirkan bayinya dengan diringi aura kesunyian dan ketentraman batin. Instrument alam yang luar biasa. Konon pula, dari badan si bayi seakan-akan memancarkan cahaya putih dan lembut.
Kelahiran Muhammad kecil seakan-akan telah ‘menutup’ derita yang dialami Aminah dan Abdul Muthalib karena kematian Abdullah. Muhammad telah menjadi bentuk kebahagiaan tersendiri yang menyinari hati Aminah dan Abdul Muthalib. Menjadi tempat curahan cinta keduanya, menjadi harapan dan sanjungan hati. Kehadiran Muhammad, bahkan melebihi kebahagiaan apapun yang pernah mereka rasakan. Muhammad adalah karunia luar biasa.
Sumber:
Abdul Hamid Judah As Sahar. Sejarah Nabi Muhammad, Periode Mekkah. Mizan: Bandung. hlm. 78-80
Hamim Thohari. Tumbuh Kembang Kecerdasan Emosi Nabi. Pustaka Inti: Bekasi. 2006. hlm. 25-27
Karen Amstrong. Muhammad Sang Nabi, Sebuah Biografi Kritis. Risalah Gusti: Surabaya. hlm. 86
Tidak ada komentar:
Posting Komentar