Jumat, 07 Januari 2011

Meneladani Minat Baca Sang Pahlawan

Untuk menguatkan semua langkah di atas, bahwa untuk membangkitkan motivasi membaca harus dimulai dengan perubahan paradigma serta menciptakan sebuah mimpi, penulis akan menukilkan kisah-kisah hidup orang-orang sukses yang dibangun dari kebiasaan membaca, salah satunya adalah Bung Hatta, negarawan sejati yang memiliki mimpi ”Indonesia Merdeka”

Menurut penulis, menelusuri jejak para pahlawan adalah menelusuri jajak para kutu buku. Pahlawan tanpa tanda jasa mungkin saja ada, tetapi pahlawan tanpa “tanda baca” itu sangat sulit mencari figurnya. Lembaran hidup para pahlawan tidak bisa dipiskan dari lembaran-lembaran naskah yang dia baca dan dia tulis. Mungkin sudah menjadi hukum besi sejarah bahwa seorang pemimpin biasanya juga ia adalah seorang orator dan penulis. Bahkan bisa dihipotesiskan bahwa menulis dan retorika merupakan faktor determinan untuk menjadi seorang pemimpin. Tanpa dua macam keterampilan itu sangat sulit seseorang di sebut pemimpin atau pahlawan atau orang besar. Karena, bagaimana bisa berbicara dan menulis apabila tidak memiliki banyak pengetahuan yang instrumen utamnya adalah membaca. Memang, dengan rekaysa misalnya membuat tulisan atas nama dirinya atau dibuatkan teks pidatonya, bisa saja seseorang menjadi pemimpin, akan tetapi sejarah kelak akan membuktikan bahwa dia bakanlah pemimpin yang otentik. Dalam konteks nasional, kita dapat melihat hampir semua pahlawan kemerdekaan adalah kutu buku. Dalam tulisan ini penulis hanya akan mengulas pengalaman membaca salah seorang proklamator yang sangat terkenal dengan minat bacanya yaitu Bung Hatta. Yang oleh Deliar Noer dalam buku Biografi Politik Bung Hatta (1990: 143) disebut ”Pembaca dan pencatat yang cermat.”

Sebetulnya yang paling berjasa dalam membesarkan tokoh kita ini adalah bukan hanya sekolah formalnya akan tetapi bahan bacaannya. Dan yang paling menentukan dalam perjuangannya bukan guru-gurunya semata akan tetapi atas dasar usahanya sendiri. Tokoh kita ini, berkat kerakusan dalam membaca, telah menjadi seorang pembelajar mandiri sejak dini. Kehidupan orang-orang besar persis seperti yang dikatakan oleh Thomas Jefferson (1815) ” aku tidak bisa hidup tanpa buku”

Berikut ini akan saya kutipkan pengalaman membaca Bung Hatta yang diambil dari Memoir-nya (1982). Pada awal menjadi murid di PHS (Prins Hendrik School) Jakarta pada tahun 1919 (pada saat berumur 17 tahun) ia menuturkan: ”Selagi melihat-lihat buku di sana tampak oleh Mak Etek Ayub tiga macam buku yang dinanggapnya perlu aku baca nanti, yaitu N.G. Pierson, Staathuishoudkunde, 2 jilid; H.P. Quack, De Socialisten, 6 jilid, Bellamy, Het Jaar 2000. Inilah buku-buku yang bermula kumiliki yang menjadi dasar perpustakaanku.

Malam itu juga kumulai membaca buku Nellamy. Waktu aku akan tidur liwat tengah malam sudah leibh seperempat isi buku itu kubaca. Barangkali akan terus kubaca sampai tamat, apabla besok harinya aku tidak mesti sekolah. Pembacaan itu besok harinya kuteruskan sampai tamat buku itu kubaca. Bacaan itu kuanggap bacaan pertama.

Biasanya buku-buku yang mengenai mata pelajaran aku pelajari pada malam hari. Buku-buku lainnya, buku roman dan buku tambahan untuk meluaskan pengetahuan kubaca pada sore hari sesudah pukul 4 atau setengah 5.

Setelah tiga kali berturut-turut buku Bellamy tamat kubaca, kumulai membalik-balik buku Quack, De Socaialisten yang 6 jilid itu.

Pada vakansi besar pertengahan tahun 1920 aku pulang ke Bukittinggi. Di situ dapat kubaca kembali uraian Quack tentang Robert Owen dalam De Socialisten jilid 2 seluruhnya. Waktu itu dapat pula kubaca uraian Quack tentang Ferdinand Lassalle dari De Socialisten jilid 4. Aku asyik membacanya dan aku pandang pujangga sosilis itu penuh romantik. Setelah aku memperoleh buku-buku dari Mak Etek Ayub, aku tidak banyak lagi keluar berjalan-jalan dengan sepeda seperti sebelumnya.”
Dua tahun kemudian (1921) pada saat beliau melanjutkan studinya di negeri Belanda, atau pun sedang mengadakan kunjungan ke negara-negara lain, hal pertama yang dilakukan beliau adalah memborong buku. Seperti yang ia lakukan pada saat pergi ke Jerman, di antara buku-buku yang dibelinya adalah: Gustav Schmoler, Grundrisz der Algemein Volkswirtschaftlehre, 2 jilid, 1400 halaman; Bohm Bawerk, Kapital und Kapitalzins, 1400 halam; Werner Sombart Der Modere Kapitalismus, 4 jilid, 2100 halaman; dan banyak lagi sampai beliau mengatakan: “‘harta’ bukuku memang bertambah luas terus sejak aku kembali dari Hamburg tahun 1922”. Beliau memiliki disimplin membaca yang sangat hebat dalam perjalnan hidupnya. Pada saat studi di Belanda ia memiliki agenda sebagai berikut: ” Menurut kebiasaan pukul 7 malam aku sudah mulai belajar di kamarku sampai jam 12 tengah malam. Karangan-karangan untuk majalah Indonesia Merdeka bisanya kutulis sesudah jam 9 malam. Kadang-kadang aku bekerja sampai pukul 2 tengah malam. Di waktu itu kerja larut malam itu senang sekali rasanya. Itulah dalam garis besar hidupku sehari-hari!”. Kebiasaan ini beliau lanjutkan di tanah air, sekalipun dalam pembuangannya.

Terkadang untuk memahami sebuah buku beliau memiliki tekad, ketekunan, dan kesabaran yang luar biasa, seperti penuturannya beriktu ini: ”Sesudah aku sampai di rumah, aku mulai mempelajari buku Jellinek, Allgemeine Staatslhehre. Kupusatkan studiku pada buku ini, empat bulan lamanya. Sepanjang hari buku itu saja yang kupelajari. Buku-buku untuk mata pelajaran lain dan diktat hanya malam hari saja dapat kuperhatikan. Demikian juga karangan-karangan untuk Daulat Ra’yat. Tiap hari aku minum Tonikum untuk memperkuat badan dan pikiran. Tetapi sesudah 4 bulan badanku merasa lusu dan otakku tak sanggup lagi menerima pelajaran baru. Ini kurasakan kira-kira dua minggu menjelang ujian pada akhir Juli 1932.”

Pada tahun yang sama, setelah menumpuh ujian, belaiu persiapan untuk pulang ke Indonesia. Tentu saja diantara barang bawaan yang turut serta ke tanah air adalah buku-bukunya.”Sudah aku rencanakan bahwa buku-buku yang akan kubawa pulang tidak lebih banyak dari 2m3, dimuat dalam 16 peti besi yang masing-masing berukuran setengah meter kubik. Selebihnya kutinggalkan, kubagikan kepada dua orang teman dekat di waktu itu.”

Bagi Bung Hatta buku merupakan istri pertanya. Ke mana pun beliau pergi buku selalu menyertainya, termasuk ke pembuangan sekalipun. Pada waktu mau di buang ke Boven Digul, beliau meminta izin selama tiga hari kepada petugas untuk mengapak dulu buku-bukunya yang akan dibawa serta. Buku yang dibawa ke pembuangan pada waktu itu sejumlah 4m3 yang dibagi kedalam 16 peti dengan ukuran masing-masing seperempat meter kubik.

Begitulah gambaran tentang semangat membaca Bung Hatta. Perjalana hidupnya adalah sejarah membaca dan menulis. Dan inilah sesungguhnya salah satu warisan beliau yang paling berharga bagi bangsa Indonesia: membaca.

Penyampaian kisah-kisah kepahlawanan akan dilakukan dengan metode storytelling yang telah terbukti efektivitasnya dalam mempengaruhi pikiran dan membentuk karakter manusia.

Tidak ada komentar: