Jumat, 07 Januari 2011

SUMBER MOTIVASI MEMBACA

Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri (QS. 13:11).



Motivasi adalah keadaan dalam diri individu yang memunculkan, mengarahkan, dan mempertahankan perilaku. Dengan kata lain menurut Kartini Kartono motivasi adalah dorongan terhadap seseorang agar mau melaksanakan sesuatu. Dengan dorongan (driving force) di sini dimaksudkan: desakan yang alami untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan hidup dan merupakan kecenderungan untuk mempertahankan hidup (http://id.wikipedia. org/wiki/Motivasi).

Sesungguhnya upaya menumbuhkan motivasi membaca dapat bersumber dari empat dimensi manusia (mental, emosional, spiritual, dan fisik). Dengan menghidupkan satu atau lebih dimensi manusia tersebut seseorang dapat termotivasi dalam membaca. Keempat dimensi tersebut apabila diartikulasikan kedalam bentuk kegiatan manusia maka akan seperti berikut: Visualisasi (visualitation) untuk dimensi mental; Tanggung jawab (responsibility) untuk dimensi spiritual; Kenyamanan dan kesukaan (excited) untuk dimensi emosional; Gerakan (move) untuk dimensi fisik. Manusia pada dasarnya memiliki kemampuan memotivasi diri untuk membaca yang tidak terbatas. Semakin besar upaya untuk menyalakan sumber pemicu motivasi semakin besar motivasi yang dihasilkan. Akan tetapi untuk memulainya, langkah yang paling awal dan paling penting adalah melakukan penyadaran.

PENYADARAN

Yang dimaksud penyedaran di sini adalah sebuah proses di mana membuat seseorang sadar atas diri dan situasinya yang kemudian akan membuka jalan untuk berusaha mengubahnya. Menumbuhkan kesadaran sangat perlu sebagai langkah awal dari bangkitnya motivasi. Kesadaran merupakan kunci yang harus dimiliki seseorang agar perubahan dapat tercapai. Dengan adanya kesadaran yang dimiliki, maka seseorang akan sangat mudah untuk menyelesaikan problem-problem pribadi atau sosial yang ada di masyarakat. Dalam proses penyadadaran ini seseorang akan dihadapkan dengan berbagai macam problematika sosial seperti kemiskinan, pengangguran, konflik, persaingan dan lain-lain yang terjadi di Indonesia pada saat ini. Peserta akan diajak untuk bersama-sama membaca secara kontekstual lingkungan sosial yang senantiasa mengepung kehidupannya setiap hari. Ia akan diposisikan sebagai subyek bukan obyek dan menjadikan realitas sosial sebagai materi pembelajaran. Pembelajaran diberikan dengan pendekatan dialogis yang berorientasi pada terwujudnya kesadaran kritis dalam diri. Peserta akan dibimbing untuk memasuki tiga jenis kesadaran, sebagaimana digolongkan oleh Pauolo Freire, yaitu kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naif (naival consciousness) dan kesadaran kritis (critical consciousness).

1.

Kesadaran Naif: keadaan yang dikatergorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat “aspek manusia” sebagai akar penyebab masalah masyarakat. Masalah etika, kreativitas dan need for achievement dalam kesadaran ini di anggap sebagai penentu perubahan.. Jadi dalam menganalisis penyebab kemiskinan masyarakat, kesalahannya terletak di masyarakat sendiri. Masyarakat dianggap malas membaca, tidak memiliki kewiraswastaan atau tidak memiliki budaya membangun dan seterusnya
2.

Kesadaran Magis yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan faktor lain. Kesadaran magis dibangkitkan dengan mengatikan bahwa kegiatan membaca sebagai sebuah pekerjaan suci yang dititahkan oleh agama (teologi membaca).
3.

Kesadaran Kritis, kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari “blaming the victims” (menyalahkan korban) dan melakukan analisis kritis untuk menyadari struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya serta akibatnya terhadap keadaan masyarakat.Untuk bisa mencapai kesadaran kritis dibutuhkan pendidikan kritis yang berbasis pada realitas sosial.


Seseorang belum bisa dikatakan sadar apabila belum mengetahui keadaan (realitas) yang sedang dialaminya, serta belum mau merubah keadaan tersebut menjadi lebih baik. Dalam proses penyadaran ini akan ditekankan bahwa yang sangat bertanggung jawab atas masa depan adalah dirinya sediri. Sebagaimana Allah befirman dalam Alqur’an surah Ar-Ra’d ayat 11, diterangkan bahwa perubahan masyarakat harus dimulai dari diri manusianya (kesadaran). M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah mengatakan bahwa: ada beberapa hal yang perlu di garisbawahi menyangkut ayat tersebut. Pertama, ayat tersebut berbicara tentang perubahan sosial, bukan perubahan individu. Kedua, sunnatullah yang dibicarakan ayat ini berkaitan dengan kehidupan duniawi bukan ukhrawi. Ketiga, ayat ini berbicara tentang dua pelaku perubahan yakni Allah dan Manusia. Keempat, ayat ini menekankan bahwa perubahan yang dilakukan oleh Allah, haruslah didahului oleh perubahan yang dilakukan oleh masyarakat menyangkut “sisi dalam” mereka. Tanpa perubahan ini, mustahil akan terjadi perubahan sosial. Karena itu boleh saja terjadi perubahan penguasa atau perubahan sistem, tetapi jika “sisi dalam” masyarakat tidak berubah, maka keadaan akan tetap bertahan sebagaimana sediakala. Jika demikian, dalam pandangan Al-Qur’an yang paling pokok guna keberhasilan suatu perubahan sosial adalah perubahan “sisi dalam manusia”, karena manusialah yang melahirkan aktivitas, baik positif maupun negatif, dan bentuk, sifat serta corak aktivitas itulah yang mewarnai keadaan masyarakat (positif dan negatif)

“Sisi dalam” manusia dinamai nafs, dan “sisi luar” dinamai jism. Jika kita ibaratkan nafs dengan sebuah wadah, maka nafs adalah sebuah wadah besar yang di dalamnya ada kotak yang berisikan segala sesuatu yang disadari oleh manusia (gagasan dan kemauan). Al-Qur’an menamai “kotak” itu dengan qalbu. Di dalam qalbu (hati) inilah tersimpan suatu kesadaran (tingkah laku manusia). Suatu masyarakat tidak akan berubah keadaan lahiriahnya, sebelum mereka mengubah lebih dahulu apa yang ada dalam wadah nafs-nya antara lain adalah gagasan dan kemauan atau tekad untuk berubah. Gagasan yang benar yang disertai dengan kemauan suatu kelompok masyarakat dapat mengubah keadaan masyarakat itu. Tetapi gagasan saja tanpa kemauan atau kemauan saja tanpa gagasan tidak akan menghasilkan perubahan.

Hasil akhir yang diinginkan dari proses penyadaran ini adalah adanya perubahan paradigma—yang merupakan sumber dari sikap dan perilaku manusia. Perubahan paradigma ini akan mampu menggerakaan seseorang dari satu cara melihat dunia ke cara yang lain. Hanya dengan perubahan paradigma inilah yang akan menghasilkan perubahan budaya baca yang kuat dalam masyarakat. Yang tadinya tidak perduli terhadap berbagai macam persoalan menjadi merasa bertanggung jawab dan siap untuk mengambil peran. Culture is the way we think, the way we do thing around here ( budaya adalah cara kita berpikir yang akan mempengaruhi cara kita melakukan segala hal di sekitar kita). Untuk menuju perubahan budaya (budaya membaca), langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan cara mengubah paradigma jika kita ingin menggali lebih banyak manfaat dari membaca. Harus mulai menempatkan mindset ke jalan yang benar bahwa membaca adalah sebuah kebutuhan jika ingin terus bertahan hidup dalam persaingan global yang semakin ketat ( Mutiah Lilhaq, s.a.)
VISI (MIMPI)

Malam itu, 4 April tahun 1968. Martin Luther King sedang berdiri di balkon lantai 2 Lorraine Motel di Memphis, Amerika. Di motel itu ia dan para pejuang keseteraan lainnya menginap, sebelum berpidato dalam sebuah unjuk rasa akbar untuk kesetaraan. Namun sebutir peluru mengubah segalanya. Peluru itu bersarang menembus kepalanya. Ia tersungkur dan dinyatakan tewas sejam kemudian

Salah satu yang paling terkenal dari Martin Luther King adalah pidatonya yang kemudian dikenang sebagai pidato ”Saya Bermimpi” atau I have a dream:



"Saya bermimpi. Suatu mimpi yang berakar dalam di mimpi Amerika sendiri. Saya bermimpi, suatu hari bangsa ini akan bangkit dan menghidupkan arti sejati dari asasnya: Kami meyakini kebenaran-kebenaran ini tanpa syarat: bahwa semua manusia diciptakan setara."Pidato ini diucapkan di Washington di hadapan lebih dari seperempat juga orang, pada 28 AGustus 1963. ’I have a Dream’ disebut-sebut sebagai salah satu pidato paling inspiratif untuk perubahan sosial politik umat manusia.” [www.kabarindonesia. com/07-Apr-2008]



Setelah terjadinya perubahan paradigma, langkang selanjutnya untuk mengarah hidup adalah dengan menetapakan visi pribadi atau membangun sebuah mimpi. Yang dimaksud dengan mimpi di sini adalah merupkan sebuah proyeksi atau imajinasi atau cita-cita atau daya khayal seseorang untuk diperjuangan di masa depan. Bukan mimpi yang merupakan “bunga” pada saat kita tidur atau lamunan. Mimpi sangat perlu dimiliki seseorang sebagai suatu penuntun arah akan ke mana dia berjalan di hari depan. Mimpi juga sangat diperlukan supaya seseorang dapat mempunyai perencaran hidup.

Mimpi merupakan salah satu faktor yang dapat membangkitkan motivasi seseorang, termasuk motivasi membaca. Sebuah mimpi atau cita-cita yang sudah benar-benar menjadi pilihan akan membuat seseoranga termotivasi untuk menggapainya terlepas dari apapun yang menghalangi dirinya, sebagaimana yang dikatakan oleh Fred Polak: “Faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan peradaban-peradaban dunia adalah ‘visi kolektif’ yang dimiliki oleh para individunya mengenai masa depan mereka".

Sebagian besar kegagalan, baik dalam skala pribadi maupun komunal, adalah diakibatkan oleh kegagalan menetapkan visi. Dan sebaliknya, visi yang jelas merupakan langkah awal untuk mencapai sukses. Sebuah visi secara sederhana dapat dirumuskan hanya dengan sebuah pertanyaan: “Apa sebenarnya yang kuinginkan?”. Atau bisa juga dengan mereka-reka masa depan yang diinginkan dalam khayalan bahkan dalam mimpi. Tanpa visi, kehidupan seseorang tidak akan memiliki arah yang jelas dan proaktif dalam memaksimalkan dan mengoptimalkan potensi dirinya.

Visi dapat membuat seseorang menciptakan realitas, tidak hanya beraksi terhadap realitas tersebut. Kegunaan lainnya adalah dalam menanggapi berbagai rintangan yang menghadang. Apabila visi yang dimiliki adalah sebuah visi yang jelas dan juga besar, maka rintangan akan dipandang sebagai tantangan bukan penghalang.

Dalam sakala yang lebih besar baik itu berupa korporasi ataupun negara, visi sama pentingnya sebagaimana dalam invdividu. Dalam korporasi, visi menggambarkan tingkat keadaan organisasi yang diinginkan di masa depan (Kartajaya, 2002: 669). Referensi dari visi adalah sebuah imajinasi, mimpi, atau khayalan tentang masa depan. Kalau orang telah memiliki sifat-sifat seperti itu, maka ia disebut orang yang visioner. Orang ini akan menjadi daya tarik, menggerakkan, dan menjadi sumber insprirasi.
“Kepemimpinan yang baik itu artinya mengetahui sebarapa banyak dari masa yang akan datang boleh diperkenalkan kepada masa kini.”. kata Peter Burwash. Masa yang akan datang selalu menjadi milik orang-orang yang melihat kemungkinan-kemungkinan jauh sebelum mereka menjadi kenyataan. Orang-orang ini mempunyai visi mengenai sesuatu yang dapat menjadi kenyataan, dan kemudian berusaha membuatnya menjadi kenyataan. Orang besar selalu berpikir melampaui zaman. Dia adalah manusia-manusia yang dilahirkan untuk masa depan. Tabiatnya adalah tidak pernah puas dengan apa yang telah tercapai hari ini.

Orang-orang besar selalu memiliki semangat yang tak terkekang yang dibawa dari lahir. Mereka berani melangkah maju sebagai perintis. Mereka selalu yakin bahwa apa-apa yang akan terjadi di masa yang akan datang itu tidak pasti atau tidak bisa diketahui, dan karenanya penuh dengan ketidakpastian yang amat besar. Namun, orang-orang besar selalu terampil berantisipasi yang akhirnya mampu mengendalikan masa depan mereka.

Ary Ginanjar Agustian mengatakan bahwa visi merupakan sumber kekuatan dari semua perubahan baik skala individu maupun skala institusi besar seperti negara. Setiap kemajuan peradaban untuk menjadi bangsa besar atau setiap perusahaan global multinasional pasti diawali dengan penetapan visi yang kemudian diyakininya sehingga menjadi ciata-cita tertinggi yang harus diperjuangkan apapun tebusannya (Agustian, 2007).

Dr. Charles Garfield telah mengadakan penelitian ekstensif tentang orang-orang yang berprestasi puncak, baik dalam olah raga maupun bisnis, Ia terpesona dengan prestasi puncak pekerjaannya dengan program NASA, mengamati para astronot melatih diri di bumi, berulang-ulang dalam ruang simulasi sebelum mereka berangkat keluar angkasa. Walaupun ia memiliki gelar doktor dalam matematika, ia memutuskan untuk kuliah kembali dan mendapatkan satu gelar lagi, doktor dalam bidang psikologi dan mempelajari karakteristik orang-orang yang berprestasi puncak. Salah satu dari hal utama yang diperlihatkan dari penelitiannya adalah bahwa hampir setiap atlet kelas dunia dan orang-orang yang berprestasi lainnya adalah mereka melakukan visualisasi. Mereka melihatnya, mereka merasakannya, mereka mengalami­nya sebelum mereka benar-benar melakukannya. Mereka memulai dengan tujuan akhir di benaknya.

Thomas A. Edison adalah penjual koran di kereta api, John D. Rockefeller hanya mempunyai upah enam Dollar perminggu. Julius Caesar menderita penyakit ayan. Napoleon punya orang tua kelas rendahan dan jauh dari kategori cerdas (peringkat empat puluh enam di akademi militer dalam kelas dengan siswa enam puluh lima orang). Beethoven seorang yang tuli, sama seperti Thomas A. Edison. PIato berpunggung bungkuk dan Stephen Hawkings lumpuh.. Apa yang memberi orang-orang besar ini stamina untuk mengatasi kekurangan mereka yang cenderung di bawah rata-rata ini menjadi orang-orang yang sukses? Setiap orang mempunyai impian dalam batin yang menyalakan api yang tidak dapat dipadamkan. Hubert H. Humprey mengatakan: "Apa yang anda lihat adalah apa yang anda bisa capai." Konrad Adenauer benar ketika dia berkata, ”Kita semua hidup di bawah langit yang sama, tetapi tidak semua orang punya cakrawala yang sama."

Segala sesuatu diciptakan dua kali. Ciptaan pertama adalah ciptaan imaginasi di dalam alam pikiran, dan ciptaan kedua adalah ciptaan nyata pada alam fisik. Ketika seseorang arsitek merancang sebuah gedung, maka ciptaan pertamanya adalah sebuah "rencana", dan ciptaan keduanya adalah bangunan itu sendiri. Begitu juga kehidupan manusia. Ciptaan pertama rnereka adalah visi dan ciptaan kedua adalah masa depan mereka sendiri.

Visi adalah suatu pandangan ke depan. Apabila pandangan mata hanya mampu melihat sebatas mata memandang yang jangkauannya sangat terbatas, maka visi adalah suatu pandangan tanpa batas, yang mampu menernbus ruang dan waktu. Visi itulah pembimbing hidup kita. Visi adalah sebuah autopilot. (Agustian, 2007)

Menurut Anis Matta (2007) semua karya besar yang memenuhi lembaran sejarah ummat manusia bermula dari imajinasi. Ini bukan hanya ada di dalam dunia kepahlawanan militer, melainkan merata dalam semua bidang kepahlawanan. Temuan-temuan ilmiah selalu didahului oleh imajinasi.: jauh sebelum dilakukannya pengujian di laboratorium ; jauh sebelumnya adanya perumusan teori. Maka, fiksi-fiksi ilmiah selalu menemukan konteksnya di sini : bahwa mercusuar imajinasi telah menyorot seluruh wilayah kemungkinan, dan apa yang harus dilakukan kemudian adalah tinggal membuktikannya. Studi-studi futurologi juga menemukan konteksnya di sini. Memang, selalu harus ada bantuan data-data pendahuluan. Namun, data-data itu hanyalah bagian dari sebuah dunia yang telah terbentuk dalam ruang imajinasi.

Para pemimpin bisnis dan politik serta tokoh-tokoh pergerakan dunia juga menemukan kekuatan mereka dari sini. Bahwa apa yang sekarang kita sebut visi dan kreativitas adalah ujung dari pangkal yang kita sebut iamjinasi. Bacalah biografi Bill Gates atau Ciputra, maka Anda akan menemukan seorang pengkhayal. Bacalah biografi John F. Kennedy atau Soekarno, maka Anda juga akan menemukan seorang pengkhayal. Bacalah pula biografi Sayyid Quthb, maka sekali lagi Anda akan menemukan seorang pengkhayal. Dalam dunia pemikiran, kebudayaan, dan kesenian, imajinasi bahkan menjadi tulang punggung yang menyangga kreativitas para pahlawan di bidang ini.
Kekuatan imajinasi sesungguhnya terletak pada beberapa titik. Pertama, pada wilayah kemungkinan yang tidak terbatas, yang terangkai dalam ruang imajinasi. Itu membantu kita untuk berfikir holistik dan komprehensif, menyusun peta keinginan dan menentukan pilihan-pilihan tindakan yang sangat luas. Kedua, optimisme yang selalu lahir dari luasnya ruang gerak dalam wilayah kemungkinan serta banyaknya pilihan tindakan dalam segala situasi. Ketiga, imajinasi membimbing kita bertindak secara terencana oleh karena ia menjelaskan ruang dan memberi arah bagi apa yang mungkin kita lakukan.

Akan tetapi, imajinasi tentu saja bukan mukjuzat. Harus ada kekuatan lain yang menyertainya agar ia efektif. Yang jelas, Anda mau belajar menjadi ‘pengkhayal ulung’, barangkali Anda telah memiliki sebagian dari potensi ledakan kepahlawanan” (Tarbawi, 30 Juni 2001)

Salah satu kelemahan orang Indonesia adalah kurangnya daya khayal atau mimpi dalam dirinya. Padahal, khayalan akan melahirkan kreativitas dan produktivitas. Mimpi ibarat ibu hamil yang akan melahirkan inspirasi dan inovasi. Kalau kita perhatikan ternyata lembaran-lembaran sejarah ditulis oleh para pemimpi. Apakah mereka itu usahawan, negarawan, ilmuwan, maupun budayawan.

” Buku-buku motivasi dan pengembangan kepribadian selalu mendoktrin kita : Mulailah dari mimpi, karena kebesaran selalu bermula dari sana. Kalimat itu telah menjadi sebuah ‘sabda’ yang diriwayatkan oleh para motivator dan inovator dalam beerbagai pelatihan manajemen, mereka seperti menemukan sumber energi bagi kemajuan mereka.

Mimpi adalah kata yang menyederhanakan rumusan dari segenap keinginan-keinginan kita, cita-cita yang ingin kita raih dalam hidup, atau visi dan misi. Anggapan ia seperti sebuah maket, ia adalah miniatur kehidupan yang ingin Anda ciptakan.

Kekuatan mimpi terletak pada kejelasannya. Sebuah keinginan yang tervisualisasi dengan jelas dalam benak kita akan menjelma menjadi kekuatan motivasi yang dahsyat. Kemauan dan tekat menemukan akarnya pada mimpi kita. (Tarbawi, 31 Juli 2001).

Tidak ada komentar: