Jumat, 07 Januari 2011

Tidak Mungkin Intelektual Menganggur

Sarjana menganggur sangat banyak, tapi intelektual menganggur rasanya tidak mungkin alias mustahil. Sarjana dan intelektual tidak sama dan sebangun alias memiliki pengertian yang berbeda. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sarjana adalah gelar yang dicapai seseorang yang telah menamatkan pendidikan tingkat terakhir di perguruan tinggi. Sedangkan intelektual artinya seseorang yang cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan atau disebut juga cendekiawan. Jelas sarjana bukan padanan kata intelektual. Dengan memperhatikan definisi atau arti kata intelektual saja sudah dapat disimpulkan mustahil ada intelektual yang memnganggur atau terjadi trategi “pengangguran intelektual”. Akan tetapi, walaupun kata “pengangguran intelektual“ terasa rancu namun sudah terbiasa diucapkan di masyarakat umum alias salah kaprah. Seperti judul sebuah artikel di harian Tribun Jabar edisi tanggal 15 Oktober 2009 “Mewaspadai Booming Pengangguran Intelektual”, yang ditulis oleh seorang dosen pascasarjana.

Untuk lebih menegaskan bahwa sarjana berbeda dengan kaum intelektual berikut ini dikemukakan penjelasan tentang makna intelektual yang ditulis oleh Prof.Dr. Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Islam Alternatif,. Kang Jalal menjelaskan bahwa kaum intelektual bukanlah sarjana yang hanya menunjukkan kelompok orang yang sudah melewati pendidikan tinggi dan meperoleh gelar sarjana. Mereka juga bukan sekdar ilmuwan yang mendalami dan mengembangkan ilmu dengan penalaran dan penelitian. Mereka adalah kelompok orang yang merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya, menangkap aspirasi mereka, merumuskannya dalam bahasa yang dapat dipahami setiap orang, mencarikan strategi dan alternatif pemecahan masalah. Dengan mengutip pendapat dari James Mac Grtegor, Kang Jalal mendefinisakan intelektual adalah a devotee of ideas, knowledge, values. Intelektual ialah orang yang terlibat secara kritis dengan nilai, tujuan, dan cita-cita yang mengatasi kebutuhan-kebutuhan praktis. Dalam definisi ini, orang yang menggarap hanya gagasan-gagasan dan data analitis adalah seorang teoritis; orang yang bekerja hanya dengan gagasan-gagasan normatif adalah seorang moralitas; orang yang menggarap sekaligus menggabungkan keduanya lewat imajinasi yang teratur itulah seorang intelektual. Sedangkan tugas kaum intelektual adalah menafsirkan pengalaman masa lalu masyarakat, mendidik pemuda dalam tradisi dan ketrampilan masyarakatnya, melancarkan dan membimbing pengalam estetis dan keagamaan berbagai sektor masyarakat…” Kang Jalala juga mengutip pendapat J.M. Burns yang menyebutkan intelektual sebagai “pengabdi gagasan-gagasan,pengetahuan dan memperjuangkan nilai-nilai yang dianutnya . Pada diri intelektual ada semangat menemukan, menyusun, menguji, melakukan sintetis (semangat ilmiah). Pada dirinya, juga ada semangat mengkritik, mencari jalan keluar, memberikan pedoman, penunjukkan arah, memperjuangkan nilai-nilai yang berorientasi ke depan. Saya hentikan sampai disini penjelasan tentang kaum intelektual, karena sudah cukup untuk membuktikan bahwa seorang intelaktual itu tidak mungkin menganggur. Mungkin akan lebih mengena kalau dikatakan saja pengangguran tamatan perguruan tinggi

Membaca Adalah Esensi Pendidikan

Mengapa banyak sarjana yang menganggur? Apakah karena secara ideologi dunia pendidikan sudah menjadi agen kapitalis atau menganut faham neoliberalisme? Apakah karena kurangnya sarana dan prasarana pendidikan yang sekarang ini banyak dikeluhkan? Apakah karena sistem (politik) pendidikan yang tidak benar? Ataukah karena sistem belajar mengajar yang tidak beres? Jawaban dari semua pertanyaan tersebut adalah mungkin. Tetapi yang pasti mereka tidak memiliki keterampilan yang memadai, tidak menguasai bidang yang digelutinya, tidak miliki wawasan yang luas, tidak mampu membaca peluang apalagi menciptakan pekerjaan. Pendek kata mereka semua tidak memiliki ilmu pengetahuan yang memadai pada saat menamatkan pendidikannya.

Keadaan tersebut terjadi karena sejak awal memasuki perguruan tinggi mereka memiliki motivasi yang keliru yaitu kuliah dengan tujuan hanya sekedar untuk mendapatkan selembar ijazah atau gelar kesarjanaan bukan untuk mendaptkan ilmu pengetahuan. Atau mereka tidak diberikan pembekalan bagaimana seharusnya studi di perguruan tinggi, karena perkuliahan hanyalah salah satu agenda yang harus dijalani tapi bukan satu-satunya. Untuk mencapai IPK yang bagus sebetulnya tidak terlalu sulit, asalkan rajin mempelajari modul atau pelajaran yang diberikan oleh dosen pasti nilainya akan bagus. Tapi di dunia nyata IPK hanya sebagian kecil saja untuk meraih tangga kesuksesan. Kadang-kadang IPK juga tidak identik dengan luasnya ilmu pengetahuan yang dimiliki atau keterampilan yang dikuasai.

Sebetulnya bekal kesuksesan yang sudah pasti adalah banyaknya ilmu serta luasnya wawasan seseorang dan salah satu cara termudah dan paling fundamental untuk menperolehnya adalah dengan rajin membaca. Sebenarnya yang menjadi biang kerok terjadinya tragedi pendidikan dan bencana pengangguran adalah malas membaca.Yang sialnya diperparah dengan tidak adanya rangsangan dan dorongan dari lingkungan perguruan tinggi yang dapat membangkitkan minat dan kebiasaan membaca baik untuk mahasiswa maupun dosennya.

Pepatah mengatakan buku adalah gudang ilmu dan membaca adalah kuncinya. “Kunci” inilah yang sekarang ini hilang dalam tradisi pendidikan kita sehingga banyak orang yang melarat dan kelaparan padahal ada di depan gudang. Sebenarnya semua permasalahan atau kemelut pendidikan bisa diselesaikan dengan membaca. Karena membaca adalah esensi pendidikan. Secara ekstrim mungkin dapat dikatakan lebih baik tidak sekolah atau kuliah tapi memiliki kegemaran membaca yang tinggi, daripada menjadi orang kuliahan tapi tidak memiliki tradisi membaca yang baik. Sejarah telah memberikan bukti kepada kita bahwa banyak orang yang sukses walaupun bermasalah dalam sekolahnya, misalnya novelis Agatha Christie, ratu reality show dan ratu baca Oprah Wimfrey, ilmuwan Michael Faraday, ahli debat Ahmad Deedat, entrepreneur Microsoft Bill Gates, dll. Di tanah air pun kita mengenal budayawan yang hidup tanpa ijazah seperti Ajip Rosidi dan Emha Aiun Nadjib yang oleh teman-temannya sering dijuluki “perpustakaan berjalan”. Mereka semua sukes karena membaca bukan karena sekolahan.

Sekarang ini, tanpa dibarengi dengan tradisi membaca yang baik, institusi pendidikan tinggi tidak dapat dijadikan jaminan untuk menjadi orang sukes dikemudian hari. Malahan boleh dikatakan bahwa instiutusi yang paling banyak memproduksi pengangguran adalah institusi pendidikan. Dalam sejarah belum pernah ditemukan ada orang yang banyak ilmu atau pandai tapi menganggur. Penulis berani mengatakan bahwa para pengangguran tamatan perguruan tinggi yang ada sekarang ini adalah mereka yang memiliki permasalahan dengan minat bacanya atau minat bacanya rendah. Padahal memiliki kegemaran membaca merupakan conditio sine quanon untuk menjadi seorang intelektual maupun orang sukses.
Solusi

Maka solusi untuk mengatasi permasalahn ini adalah dengan memberikan kepada mereka semua bekal ilmu pengetahuan yang banyak dengan cara rajin membaca. Sesungguhnya problematikan pendidikan dan pengangguran bisa diatasi dengan membaca. Pertanyaannya sekarang adalah mengapa mereka tidak mau membaca? Pertama, karena tidak ada sarana untuk membaca. Jawaban ini adalah jawaban klise tapi paling banyak dipakai. Bagaimana mau menumbuhkan minat baca apabila bahan bacaannya tidak ada. Dengan asumsi seperti ini maka baik pemerintah maupun masyarakat berusaha untuk membuat perpustakaan atau taman bacaan dimana-mana. Memang harus diakui sarana pendidikan yang paling diabaikan oleh sekolah adalah perpustakaan. Perpustakaan juga tidak dijadikan salah satu faktor atau indikator untuk penilaian akreditasi. Banyak lembaga pendidikan terutama sekolah yang mendaptkan akreditasi “A” padahal tidak memiliki perpustakaan. Sampai saat ini banyak dinas pendidikan yang tidak memiliki data perpustakaan sekolah yang ada didaerahnya, sebuah indikator ketidakpedulian terhadap perpustakaan. Profesor Sulistyo Basuki mengatakan bawa baru sepuluh persen sekolah di Indoneisa yang memiliki sarana perpustakaan memadai. Dalam dunia pendidikan sudah disepakati bahwa perpustakaan merupakan jantung pendidikan. Para pembaca bisa membayangkan apa yang terjadi apabila seseorang memiliki jantung yang sakit, bahkan apa disebutnya tubuh yang tidak memiliki jantung? Maka dapat dipastikan dunia pendidikan akan senantiasa bermasalah apabila tidak membenahi perpustakaannya.

Solusi yang kedua adalah dengan menumbuhkan kesadaran pentingnya membaca untuk memperbaiki kualitas hidup. Salah satu penyebab tidak mau membaca adalah karena tidak ada kesadaran pentingnya membaca dalam diri seseorang. Menyediakan sarana memang penting tetapi bukan satu-satunya cara untuk merangsang minat baca masyarakat. Pada zaman sekarang ini, apalagi yang hidup di perkotaan, sebenarnya tidak terlalu sulit untuk mendapatkan bahan bacaan. Tetapi tetap saja mereka enggan ke perpustakaan atau membeli buku alias tidak memiliki kebiasaan membaca. Perpustakaan yang sudah dibuat di perguruan tinggi kalah menarik dengan kantin-kantin yang tumbuh subur di sekitar kampus, taman bacaan masyarakat yang bertebaran dimana-mana tetap saja sepi pengunjung. Ini adalah sebuah indikator bahwa kesadaran membaca masyarakat belum tumbuh.

Menumbuhkan atau menanamkan kesadaran membaca sebenarnya tidak terlalu sulit dilakukan. Ibarat membangunkan seoseorang yang sedang tidur kemudian tersadar kembali. Metode yang duganakannya pun sangat simpel yaitu dengan pelatihan selama sehari penuh. Dengan mempelajari tradisi membaca orang-orang besar atau orang-orang sukses baik tingkat dunia maupun nasional, pelatihan ini telah berhasil menumbuhkan kesadaran pentingnya membaca bagi mereka yang belum pernah datang ke perpustakaan sekalipun. Seperti yang penulis lakukan di sebuah sekolah menengah umum di Kabupaten Bandung Jawa Barat. Para peserta dengan tekun dan dinamis mengikuti pelatihan sampai sore hari. Dari hasil evaluasi mereka memiliki antusiasme dan bertekad untuk selalu menyempatkan diri membaca. Sesungguhnya dengan pelatihan ini dapat menumbuhkan kesadaran membaca sebelum perpustakaan itu ada.

Pelatihan menumbuhkan kesadaran pentingnya membaca bisa dilakukan pada mahasiswa atau siswa sekolah menengah pada saat menjalani perkuliahaannya, atau paling bagus adalah saat orientasi studi mahasiswa baru. Pelatihan ini bersifat andragogis atau diperuntukan bagi remaja dan orang dewasa. Mengingat budaya masyarakat yang selalu menginginkan semuanya dapat dilakukan serba cepat atau instant, metode ini merupakan metode yang sangat efektif, karena tidak memerlukan waktu lama dan dapat dilakukan secara massif.

Penulis sangat yakin bahwa solusi yang paling jitu untuk menanggulangi pengangguran, juga dapat dijadikan program nasional untuk mensejahterakan rakyat Indonesia adalah beternak “kutu buku” secara massif dan simultan.

Tidak ada komentar: